Jumat, 06 Juli 2012

MAKALAH HUKUM

BAB I I. Pendahuluan Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amaerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat). Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.3 Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli Atmasasmita lebih lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) Hukum Pidana Ingternasional dalam arti lingkup territorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ; (2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internbasional yang terdapat di dalam hukum pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law); (3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law); (4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations); (5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice); (6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word).Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional dalam arti materril. Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga nampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional. Misalnya, khusus tindak pidana korupsi, dimana pelaku (offender) maupun aset hasil korupsi tersebut kemudian disimpan di negara lain sehingga sehingga tidak saja meliputi batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi juga memasuki wilayah negara lain. BAB II PEMBAHASAN II. Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau internationale strafprocessrecht merupakan cabang ilmu hukum yang relative baru. Romli Atmasasmita menyebutkan pengembangan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai oleh pekerjaan Gerhard O.W. Mueller dan Edmund M. Wise yang telah menyusun suatu karya tulis International Criminal Law dalam rangka proyek penulisan di bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang telah menulis sebuah karya tulis A Treatise on International Criminal Law (1973). Sebagaimana apa yang telah diterangkan di atas maka eksistensi Hukum Pidana Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila dihubungkan dengan kejahatan transnasional. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama. 2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan penjabaran dari asas non-intervensi. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi. 3. Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negaranegara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik. 4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relative menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya ini tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana seperti undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan lain sebagainya tidak boleh ada ketentuannya yang bertentang dengan hak asasi manusia. Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berhubungan erat dan dapat diaplikasikan terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi yang merupakan bahasan topik dalam paper ini. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)6 mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa: 1.) Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official): a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”) b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”). c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”). 2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram. Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar Negara dan lain sebagainya.8 Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa: “Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan pul “Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia. Oleh karena korupsi kejahatan yang bersifat transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu Negara dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini telah dilaksanakan misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara tersebut. Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu tidak adanya intervensi hukum antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh karena antara negara satu dan Negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hukum ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun asetnya disembunyikan. Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada Negara korban. Kembalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untuk memulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila Negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili negara yang bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh karena yang memutus adalah Mahkamah Internsional yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan. Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi. Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart10 secara global HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional. BAB II PENUTUP Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional yaitu sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya, sebagai pencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar dan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik berkorelasi dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap kejahatan korupsi. Oleh karena itu, diharapkan nantinya keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut relatif dapat lebih berperan maksimal bagi negara-negara di dunia untuk dapat menindaklanjuti kejahatan korupsi.

MAKALAH HUKUM NARKOBA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan menunjukan bahwa 50% penghuni LAPAS (lembaga pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba atau narkotika. Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri yang sulit didiktesi. Pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika  tersebut.
Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.
Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya penanggulangannya saat ini sedang mencuat dnan menjadi perdebatan para ahli hukum. Penyalahgunaan narkoba atau narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat kepada pemakaian jarum suntik yang pada akhirnya akan menularkan HIV.
Perkembangan kejahatan narkotika  pada saat ini telah menakutkan kehidupan masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk indonesia , telah berupaya untuk meningkatkan program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum sampai kepada program pengurangan pasokan narkoba atau narkotika.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
Apa pengertian narkotika serta jenis-jenis Narkotika?
Bagaimanakah kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang- Undang Narkotika (UU No. 35/2009 ) dalam penanggulangan tindak pidana narkotika ?
Siapa saja yang dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?
Bagaimana sangsi hukum pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika?

















BAB III
PEMBAHASASAN

Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.[1]
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Yang dimakud narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti  morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.[2]
Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 :
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika)
Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut ini:
•    Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
•    Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988)
•    Undang-undang  RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun 1997.
•    Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 35 tahun 2009  tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :[3]

    Sebagai pengguna
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009  tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.
    Sebagai pengedar
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35 tahun 2009  tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.
    Sebagai produsen
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama – sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Namun demikian, dalam tataran implementasi, sanksi yang dikenakan tidak sampai pada kategori maksimal. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kasus yang diproses memang ringan, sehingga hakim memutuskan dengan sanksi yang ringan pula. Kedua, tuntutan yang diajukan relatif ringan, atau bahkan pihak hakim sendiri yang tidak memiliki ketegasan sikap. Sehingga berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan

Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Narkotika
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni:

a)      takut berbuat dosa;
b)      takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif;
c)      takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.[4]
Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika serta implementasinya dalam penangulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:[5]
Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undangundang aja;
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;
    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
    Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.








BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1.Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan
Dalam UU No. 35/2009 jenis-jenis narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti  morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.
Penanggulangan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan NARKOTIKA merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya berada pada pundak kepolisian ataupun pemerintah saja. Namun, seluruh komponen masyarakat diharapkan ikut perperan dalam upaya penanggulangan tersebut. Setidaknya, itulah yang telah diamanatkan dalam pelbagai perundang-undangan negara, termasuk UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika pandangan Agama narkoba adalah barang yang merusak akal pikiran, ingatan, hati, jiwa, mental dan kesehatan fisik seperti halnya khomar. Oleh karena itu maka Narkoba juga termasuk dalam kategori yang diharamkan Allah SWT.





DAFTAR PUSTAKA

Sunarso, siswantoro.2004.Penegakan Hukum Psikotropika. Jakarta:Rajawali Pers.
Makarao, taufik, et.al.2003 Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. H
Mardani.2007.Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta:Rajawali Pers.