Sabtu, 28 Juli 2012

Mutiara Kata, Hadist Nabi, Kata-Kata Bijak, Petuah Bijak

  • Kejujuran adalah perhiasan jiwa yang lebih bercahaya daripada berlian
  • Belajar tanpa berpikir tidak ada gunanya, sedangkan berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.
  • Cinta kepada Allah adalah puncaknya cinta. Lembahnya cinta adalah cinta kepada sesama.
  • Keluhuran budi pekerti akan tampak pada ucapan dan tindakan.
  • Orang yang berjiwa besar teguh pendiriannya, tetapi tidak keras kepala.
  • Ulurkan cintamu karena Tuhanmu dan tariklah cintamu karena Tuhanmu, anda tentu tak akan kecewa.
  • Cinta indah seperti bertepuk dua tangan, tak akan indah jika hanya sebelah saja.
  • Naluri berbicara kita akan mencintai yang memuja kita, tetapi tidak selalu mencintai yang kita puja.
  • Melihatlah ke atas untuk urusan akhiratmu dan melihatlah ke bawah untuk urusan duniamu maka hidup akan tenteram.
  • Seseorang yang optimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap
    malapetaka, sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap
    kesempatan.
  • Ingatlah, boleh jadi manusia itu mencintai sesuatu yang
    membahayakan dirinya atau membenci sesuatu yang bermanfaat baginya.
    Mohonlah petunjuk-Nya.
  • Sahabat yang sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata anda.
  • Bekerja atas dorongan cinta akan terasa senang tiada jemu dan lelah.
  • Orang besar menempuh jalan kearah tujuan melalui rintangan dan kesukaran yang hebat.
  • Berbuat baiklah kepada orang lain seperti berbuat baik kepada diri sendiri.
  • Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna
  • Memperbaiki diri adalah alat yang ampuh untuk memperbaiki orang lain.
  • Jika seseorang tidak mencintai anda janganlah dia anda benci, karena mungkin akan tumbuh benih cinta kembali.
  • Cinta akan menggilas setiap orang yang mengikuti geraknya, tetapi tanpa gilasan cinta, hidup tiada terasa indah.
  • Bukan kecerdasan anda, melainkan sikap andalah yang yang akan mengangkat anda dalam kehidupan.
  • Perjuangan seseorang akan banyak berarti jika mulai dari diri sendiri.
  • Jika rasa cinta terbalas, maka bersyukurlah karena Allah telah memberikan hidup lebih berharga dengan belas Kasih-Nya.
  • Dalam perkataan, tidak mengapa anda merendahkan diri, tetapi dalam aktivitas tunjukkan kemampuan Anda.
  • Tegas berbeda jauh dengan kejam. Tegas itu mantap dalam kebijaksana sedangkan kejam itu keras dalam kesewenang-wenangan.
  • Jika rasa cinta itu tak terbalas maka bersukurlah, karena anda akan dipilihkan Allah yang lebih baik.
  • Watak keras belum tentu bisa tegas, tetapi lemah lembut tak jarang bisa tegas.
  • Sifat orang yang berlilmu tinggi adalah merendahkan hari kepada manusia dan takut kepada Tuhan.
  • Contoh yang baik adalah nasehat terbaik (Fuller)
  • Jika kita melayani, maka hidup akan lebih berarti (John Gardne)
  • Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk
    berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak
    akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkahpun. – Bung Karno
  • Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari
    hari ke hari; dengan kata lain, kita adalah pahlawan dari cerita kita
    sendiri. – Mary Mccarthy
  • Tiga sifat manusia yang merusak adalah, kikir yang dituruti, hawa
    nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan.
    – Nabi Muhammad Saw
  • Apa yang nampak sebagai suatu kemurahan hati, sering sebenarnya tiada lain daripada ambisi
  • yang terselubung, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan kecil
    untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang lebih besar. – La
    Roucefoucauld
  • Semua yang dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu. – Benjamin Franklin
  • Hati yang penuh syukur, bukan saja merupakan kebajikan yang
    terbesar, melainkan merupakan pula induk segala kebajikan yang lain. –
    Cicero
  • Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan
    yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan dalam suatu
    cara yang berbeda. – Dale Carnegie
  • Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang jujur,
    karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24 jam yang sama
    setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah membagi waktu dengan
    lebih cermat. – George Downing
  • Ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa
    berpikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai berpikir seperti
    komputer. – Sydney Harris
  • Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak
    lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai
    dirinya dikala ia marah. – Nabi Muhammad Saw
  • Cara untuk menjadi di depan adalah memulai sekarang. Jika memulai
    sekarang, tahun depan Anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak
    diketahui, dan Anda tak akan mengetahui masa depan jika Anda
    menunggu-nunggu. – William Feather
  • Dalam masalah hati nurani, pikiran pertamalah yang terbaik. Dalam
    masalah kebijaksanaan, pemikiran terakhirlah yang paling baik. – Robert
    Hall
  • Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup cukup
    lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri. – Martin Vanbee
  • Orang-orang hebat di bidang apapun bukan baru bekerja karena mereka
    terinspirasi, namun mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih
    suka bekerja. Mereka tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu
    inspirasi. – Ernest Newman
  • Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan
    hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah
    mereka menyukainya atau tidak. – Aldus Huxley
  • Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang sudah kita miliki,
    tetapi kita selalu menyesali apa yang belum kita capai. – Schopenhauer
  • Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan
    bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan
    yang teguh. – Andrew Jackson
  • Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil; kita
    baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik. – Evelyn
    Underhill
  • Perbuatan-perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tetapi
    perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permusuhan dan
    pengkhianatan. – Johan Wolfgang Goethe
  • Jika orang berpegang pada keyakinan, maka hilanglah kesangsian.
    Tetapi, jika orang sudah mulai berpegang pada kesangsian, maka
    hilanglah keyakinan. – Sir Francis Bacon
  • Karena manusia cinta akan dirinya, tersembunyilah baginya aib
    dirinya; tidak kelihatan olehnya walaupun nyata. Kecil di pandangnya
    walaupun bagaimana besarnya. – Jalinus At Thabib
  • Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putus-nya
    dipukul ombak. Ia tidak saja tetap berdiri kukuh, bahkan ia
    menenteramkan amarah ombak dan gelombang itu. – Marcus Aurelius
  • Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada
    di atas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada di atas kepala orang
    lain. – Thomas Hardy
  • Kaca, porselen dan nama baik, adalah sesuatu yang gampang sekali
    pecah, dan tak akan dapat direkatkan kembali tanpa meninggalkan bekas
    yang nampak. – Benjamin Franklin
  • Keramahtamahan dalam perkataan menciptakan keyakinan,
    keramahtamahan dalam pemikiran menciptakan kedamaian, keramahtamahan
    dalam memberi menciptakan kasih. – Lao Tse
  • Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan
    dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah. – Abu
    Bakar Sibli
  • Rahmat sering datang kepada kita dalam bentuk kesakitan, kehilangan
    dan kekecewaan; tetapi kalau kita sabar, kita segera akan melihat
    bentuk aslinya. – Joseph Addison
  • Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan
    baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain. – William
    Wordsworth
  • Kita berdoa kalau kesusahan dan membutuhkan sesuatu, mestinya kita
    juga berdoa dalam kegembiraan besar dan saat rezeki melimpah. – Kahlil
    Gibran
  • Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat
    kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya. –
    Alexander Pope
  • Teman sejati adalah ia yang meraih tangan anda dan menyentuh hati anda. – Heather Pryor
  • Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak
    menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka
    menyerah. – Thomas Alva Edison
  • Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan; dan saya percaya pada diri saya sendiri. – Muhammad Ali
  • Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh. – Confusius
  • Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan
    dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah. – Abu
    Bakar Sibli
  • Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa
    bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu
    semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum. –
    Mahatma Gandhi
  • Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang tidak
    beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
    sendiri. ~ Nabi Muhammad SAW
  • Jauhilah dengki, karena dengki memakan amal kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. ~ Nabi Muhammad SAW
  • Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang berakhlak paling mulia. ~ Nabi Muhammad SAW
  • Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kalian, tapi Dia melihat hati dan amal kalian. ~ Nabi Muhammad SAW
  • Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal. ~ Imam Al Ghazali
  • Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. ~ Khalifah ‘Umar
  • Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah
    pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman
    itu haruslah dikembalikan. ~ Ibnu Mas’ud
  • Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang
    adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka
    keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran
    hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. ~ Khalifah ‘Ali
  • Sabar memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah sabar, sisi yang lain adalah bersyukur kepada Allah. ~ Ibnu Mas’ud
  • Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu. ~ Khalifah ‘Ali
  • Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar
  • Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh
    karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika
    niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk. ~ Imam An Nawawi
  • Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih
    baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian,
    tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku
    merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan
    yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala
    bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada
    sabar. ~ Khalifah ‘Umar
  • Dia yang menciptakan mata nyamuk adalah Dzat yang menciptakan matahari. ~ Bediuzzaman Said Nursi
  • Penderitaan jiwa mengarahkan keburukan. Putus asa adalah sumber
    kesesatan; dan kegelapan hati, pangkal penderitaan jiwa. ~ Bediuzzaman
    Said Nursi
  • Kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan ketenangan dalam
    segala kegiatan masyarakat itu, sedangkan saling bermusuhan menyebabkan
    seluruh kegiatan itu mandeg. ~ Bediuzzaman Said Nursi
  • Menghidupkan kembali agama berarti menghidupkan suatu bangsa. Hidupnya agama berarti cahaya kehidupan. ~ Bediuzzaman Said Nursi
  • Seseorang yang melihat kebaikan dalam berbagai hal berarti memiliki
    pikiran yang baik. Dan seseoran yang memiliki pikiran yang baik
    mendapatkan kenikmatan dari hidup. ~ Bediuzzaman Said Nursi
  • Pengetahuan tidaklah cukup; kita harus mengamalkannya. Niat
    tidaklah cukup; kita harus melakukannya. ~ Johann Wolfgang von Goethe
  • Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. ~ Johann Wolfgang von Goethe
  • Kearifan ditemukan hanya dalam kebenaran. ~ Johann Wolfgang von Goethe
  • Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang. ~ Einstein
  • Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat diraih dengan pengertian. ~ Einstein
  • Agama sejati adalah hidup yang sesungguhnya; hidup dengan seluruh
    jiwa seseorang, dengan seluruh kebaikan dan kebajikan seseorang. ~
    Einstein
  • Dua hal yang membangkitkan ketakjuban saya – langit bertaburkan
    bintang di atas dan alam semesta yang penuh hikmah di dalamnya. ~
    Einstein
  • Apa yang saya saksikan di Alam adalah sebuah tatanan agung yang
    tidak dapat kita pahami dengan sangat tidak menyeluruh, dan hal itu
    sudah semestinya menjadikan seseorang yang senantiasa berpikir
    dilingkupi perasaan rendah hati. ~ Einstein
  • Sungguh sedikit mereka yang melihat dengan mata mereka sendiri dan merasakan dengan hati mereka sendiri. ~ Einstein
  • Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna. ~ Einstein
  • Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung. ~ Einstein
  • Tidak semua yang dapat menghitung dapat dihitung, dan tidak semua yang dapat dihitung dapat menghitung. ~ Einstein
  • Benar, engkau adalah seorang raja penguasa dunia. Semua orang
    menunjukkan kesetiaannya padamu! Lalu bagaimana? Esok kamu akan di
    baringkan di kubur sebagai rumahmu. Dan dari segala arah, orang-orang
    akan melemparkan debu ketubuhmu menutupimu. Walaupun engkau dijadikan
    raja penguasa dunia, engkau tidak akan lari dari kematian, dan
    meninggalkan dunia untuk para musuhmu walaupun hari ini wajahmu
    tersenyum, esok hal itu pasti akan membuatmu bersedih. Aku melihat
    manusia datang kedunia lalu pergi jauh, Dunia dan harta selalu
    berpindah, dengan sayap-sayap yang sama untuk terbang. Dunia tidak
    tetap dengan seorang yang hidup di mana pun, juga tidak ada seorang pun
    yang hidup selamanya menikmati kesenangannya, kematian dan
    penderitaannya bagaikan dua ekor kuda yang berlari cepat ke arah
    manusia, untuk menginjak-injak mereka dan melahap mereka
  • Hai bodoh, yang terpedaya oleh daya tarik dunia! Pikirkanlah dan
    ambillah sesuatu (kebaikan) dari dunia ini untuk, menolongmu di akhirat.
  • Aku tersesat dalam kelalaian, sedang kematian bergerak kearahku,
    semakin lama semakin mendekat. Jika aku tidak mari hari ini, aku pasti
    mati esok.
  • Aku manjakan tubuhku dengan pakaian-pakaian halus dan mewah, sedikit berpikir bahwa itu akan membusuk dan hancur dalam kubur
  • Aku bayangkan tubuhku remuk menjadi debu dalam lubang kubur, Di bawah gundukan tanah
  • Keindahan tubuhku akan berangsur-angsur hilang, sedikit demi
    sedikit berkurang hingga tinggallah kerangka, tanpa kulit dan daging.
  • Aku melihat detik-detik kehidupan lambat laun habis, namun
    keinginan-keinginanku masih belum terpenuhi. Suatu perjalanan panjang
    terbentang di hadapanku, sedangkan aku tiada bekal untuk jalan itu. Aku
    menentang Tuhanku, melanggar perintah-perintah-Nya terang-terangan,
    sementara Ia mengawasiku setiap saat. Aduh! Aku memperturutkan hatiku
    dalam perbuatan-perbuatan yang memalukan! Ah! Apapun yang telah terjadi
    tak dapat dihapuskan dan waktu bila telah berlalu tidak dapat ditarik
    kembali. Ah! Aku berdosa secara rahasia, tidak pernah orang laun
    mengetahui dosa-dosaku yang mengerikan. Tetapi esok, rahasia
    dosa-dosaku ditampakan dan dipertunjukan kepada Tuhanku. Ah! Aku
    berdosa terhadap-Nya, walaupun hati merasa takut, namun aku sangat
    mempercayai ampunan-Nya yang tak terbatas, aku ber-dosa dan tak tahu
    malu, dengan berani bergantung kepada ampunan-Nya yang tak terbatas.
    Siapa lagi selain Dia, yang akan mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya
    Ia patut bagi segala pujian! Seandainya tidak ada adzab setelah
    kematian. Tiada janji akan surga, tiada ancaman akan neraka. Kematian
    dan kebusukan cukup sebagai peringatan, agar kita menjauhi sia-sia.
    Namun akal kita bebal. Kita tidak mengambil peringatan apa pun.
    Sekarang tiada harapan lagi bagi kita, kecuali Yang Maha Pengampun
    mengampuni dosa-dosa kita, karna bila seorang hamba berbuat salah,
    hanyalah Tuhannya, tanpa seorangpun yang mengampuninya tak diragukan
    lagi aku adalah yang terburuk dari semua hamba-Nya. Aku yang
    menghianati perjanjianku dengan Tuhanku yang dibuat di keabadian. Dan,
    adalah hamba yang cakap yang janji-janjinya tak berarti. Tuhanku, akan
    bagaimanakah nasibku, ketika api membakar tubuhku? Api yang melelehkan
    batu yang paling keras! Ah! Aku sendiri ketika dibangkitkan dari kubur
    (tanpa seorangpun yang menolongku pada hari itu). Wahai Engkau, Yang
    Maha Esa yang tiada sekutu terhadap keagungan-Mu. Belas kasihanillah
    kesendirianku, karna ditinggalkan oleh segalanya.
  • Sungguh jalanan paling licin yang bahkan kaki ulamapun tergelincir di atasnya adalah ketamakan.
  • Tiada yang lebih baik dari dua kebaikan : Beriman pada Allah dan bermanfaat bagi manusia.
  • Tiada yang lebih buruk dari dua kejahatan : Syirik pada Allah dan merugikan manusia.
  • Tiga tanda kesempurnaan iman : Kalau marah, marahnya tidak keluar
    dari kebenaran. Kalau senang, senangnya tidak membawanya pada
    kebatilan. Ketika mampu membalas, ia memafkan.
  • Tertipulah yang melakukan tiga perkara : Membenarkan apa yang tak
    terjadi, mengandalkan orang yang tidak dipercaya, dan menghasratkan apa
    yang tak dimiliki.
  • Dengannya Allah kuburkan kedengkian; Dengannya Allah padamkan
    permusuhan; Melaluinya diikat persaudaraan; Yang hina dimulyakan. Yang
    tinggi direndahkan.
  • Berbagi rezeki dengan tulus, berbakti pada orang tua, berbuat baik pada sesama, mengubah duka menjadi bahagia dan menambah usia.
  • Semua ilmu ada pokok bahasannya. Pokok bahasan ilmu para Nabi adalah manusia… Mereka datang untuk mendidik manusia.
  • Orang paling baik adalah orang yang kita harapkan kebaikannya dan kita terlindung dari keburukannya.
  • Jika orang dapat empat hal, ia dapat kebaikan dunia akhirat: Hati
    yang bersyukur, lidah yang berzikir, badan yang tabah pada cobaan, dan
    pasangan yang setia menjaga dirinya dan hartanya.
  • Nabi ditanya bermanfaatkah kebajikan setelah dosa? Ia menjawab: Taubat membersihkan dosa, kebaikan menghapuskan keburukan.
  • Manusia Paling baik adalah orang yang dermawan dan bersyukur dalam
    kelapangan, yang mendahulukan orang lain, bersabar dalam kesulitan.
  • Tiga manusia tidak akan dilawan kecuali oleh orang yang hina: orang
    yang berilmu yang mengamalkan ilmunya, orang cerdas cendikia dan imam
    yang adil.
  • Tiada musibah yang ,ebih besar daripada meremehkan dosa-odsamu dan merasa ridho dengan keadaan rohaniahmu sekarang ini.
  • Hati Adalah Ladang. Sesungguhnya setengah perkataan itu ada yang
    lebih keras dari batu, lebih tajam dari tusukan jarum, lebih pahit
    daripada jadam, dan lebih panas daripada bara.
  • Sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamlah ia dengan perkataan
    yang baik, karna jika tidak tumbuh semuanya (perkataan yang tidak
    baik), niscaya tumbuh sebahagiannya.
  • Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu
    perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia
    melepaskan perhiasan itu. (Sayidina Abu bakar)
  • Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu
    daripada 4 sifat yang membinasakan iaitu: Ia akan mati dan hartanya
    akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya
    atau; hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau;
    hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk
    kejahatan pula atau adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan
    secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna (Sayidina Abu Bakar)
  • Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat
    kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang
    dia kehendaki. (Sayidina Umar bin Khattab)
  • Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka
    menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang menyintai
    akhirat, dunia pasti menyertainya. Barangsiapa menjaga kehormatan orang
    lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. (Sayidina Umar bin Khattab)
  • Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu
    diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit
    amalan yang disertai takwa. Bagaimanakah amalan itu hendak diterima?
    (Sayidina Ali Karamallahu Wajhah)
  • Janganlah seseorang hamba itu mengharap selain kepada Tuhannya dan
    janganlah dia takut selain kepada dosanya. (Sayidina Ali Karamallahu
    Wajhah)
  • Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada
    kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau
    tidak ada perhatian untuknya. (Sayidina Ali Karamallahu Wajhah)
  • Tiada solat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu’. Tiada puasa yang
    sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia-sia. Tiada
    kebaikan bagi pembaca al-Qur’an tanpa mengambil pangajaran daripadanya.
    Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara’.
  • Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi.
    Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki. Doa yang
    paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan.
  • Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya, siapa
    yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya, siapa yang hilang
    harga dirinya, bererti dia tidak wara’, sedang orang yang tidak wara’
    itu bererti hatinya mati. (Sayidina Ali Karamallahu Wajhah)
  • Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah: Hatinya selalu
    berniat suci. Lidahnya selalu basah dengan zikrullah. Kedua matanya
    menangis kerana penyesalan (terhadap dosa).
  • Segala perkara dihadapaiya dengan sabar dan tabah. Mengutamakan
    kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. (Sayidina Utshman bin Affan)
  • Tiada insan suci yg tidak mempunyai masa lampau. Tiada insan berdosa yg tak punyai masa depan (anonim)
  • Masa yang pergi tak akan kembali & umur semalam tak akan
    dilalui lagi maka jadikanlah hari ini lebih baik dari semalam &
    esok lebih baik dari hari ini (anonim)
  • Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah bersabda: Setiap ruas tulang
    tubuh manusia wajib dikeluarkan shodaqohnya setiap hari ketika matahari
    terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah shodaqoh,
    menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan
    barang ke atas kendaraannya adalah shodaqoh, kata-kata yang baik adalah
    shodaqoh, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan sholat adalah shodaqoh,
    dan membersihkan rintangan dari jalan adalah shodaqoh. (HR Bukhari dan
    Muslim)
  • Puasa dan al-Quran itu akan memberi syafaat kepada seorang hamba
    pada hari kiamat kelak. Di mana puasa akan berkata, –Wahai Rabbku, aku
    telah menahannya dari makanan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan
    aku untuk memberi syafaat kepadanya–. Sedangkan al-Quran berkata, –Aku
    telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku
    untuk memberi syafaat kepadanya–. Beliau bersabda, –Maka keduanya pun
    memberikan syafaat– (HR. Ahmad, al-Hakim, dan Abu Nu`aim)
  • Allah menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksiatan. Maka jangan
    meremehkan maksiat sekecil apapun. Karena kita tidak akan pernah tahu
    maksiat yang mana yang mendapat murka Allah.
  • Tidak ada yang pasti terjadi di dunia kecuali kematian. Dan tidak ada yang lebih dekat dari kita kecuali kematian.
  • “Tujuh golongan yg akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya di hari tdk ada naungan kecuali naungan-Nya.
    1. Pemimpin yg adil,
    2. Pemuda yg sentiasa beribadat kepada Allah semasa hidupnya,
    3. Orang yg hatinya sentiasa berpaut pada masjid-masjid
    4. Dua orang yg saling mengasihi karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah,
    5. Seorang lelaki yg diundang oleh seorang perempuan yang mempunyai
      kedudukan dan rupa paras yg cantik utk melakukan kejahatan tetapi dia
      berkata, ‘Aku takut kepada Allah’
    6. Seorang yg memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah
      tangan kanan tidak tahu apa yg diberikan oleh tangan kirinya dan
    7. Seseorang yg mengingati Allah di waktu sunyi sehingga mengalirlah
      air mata dr kedua matanya” (HR. Bukhari & Muslim) “Dari Abu
      Hurairah ‘Abdurrahman Bin Shakhr RA, Rasulullah SAW bersabda:
      Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak melihat bentuk tubuhmu dan tidak pula
      melihat rupamu tetapi Allah melihat hatimu.” (HR. Muslim)
  • Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa dilanda kesusahan dalam
    suatu masalah hendaklah dia mengucapkan Laa Haula wa laa quwwata illa
    bil-laahil ‘aliyyil-’azhiim’ (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali
    dengan pertolongan Allah yang maha Tinggi lagi Maha Agung” (H.R Baihaqi
    dan Ar Rabi’i)
  • Allah menyembunyikan ridha-Nya di dalam kebaikan. Maka jangan
    meremehkan kebaikan sekecil apapun. Karena kita tidak akan pernah tahu
    kebaikan yang mana yang mendapat ridha Allah
  • Tutuplah pintu-pintu masuk Syaithan, yaitu: sombong, marah, makan
    berlebihan, berhias bukan untuk suami/istri, mengumpul-ngumpulkan
    harta, iri, dengki, dan syirik.
  • Jadikanlah Sabar dan Shalat Sebagai Penolongmu. Dan Sesungguhnya
    Yang Demikian itu Sungguh Berat, Kecuali Bagi Orang-Orang yang Khusyu.
    (Al Baqarah : 45).
  • Untuk itu, menirulah, karena meniru adalah jalan terpendek  untuk
    menjadikan hari anda sama dengan pribadi yang anda kagumi. (Mario Teguh)
  • SEMPURNAKANLAH (Akhiri) APA YANG KITA KERJAKAN DENGAN DOA. (Mario Teguh)
  • Bersyukurlah jika anda sudah di level terendah dalam hidupmu, karena tidak ada pilihan lain selain untuk naik. (Mario Teguh)
  • Belajarlah dari semut. Saat berjalan dan dihadapkan dengan tembok
    di depannya, mereka melihatnya hanya sebagai jalan naik menuju ke atas,
    tidak lebih. (Mario Teguh)
  • Jangan batasi kebaikan yang bisa Anda lakukan karena itu akan membatasi kebesaran yang bisa Anda capai. (Mario Teguh
  • Tetapkanlah diri Anda sebagai sahabat bagi kebaikan orang lain, Lalu perhatikan apa yang terjadi. (Mario Teguh)
  • Harga kita hanya sebanding dengan penghargaan kita terhadap waktu. (Mario Teguh)
  • Setiap hari berpotensi baik; tetapi memang tidak setiap pribadi
    dari kita berfokus pada perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengubah
    potensi baik menjadi kenyataan baik. (Mario Teguh)
  • Kelihatannya, waktu memilah-milah orang berdasarkan kualitas sikapnya dalam menggunakan waktu. (Mario Teguh)
  • Yang bersikap baik dalam menggunakan waktu, akan hidup dengan baik.
    Yang menyepelekan waktu, akan hidup memprotes penyepelean dari orang
    lain. (Mario Teguh)
  • Engkau adalah pena yang menuliskan cerita kehidupanmu sendiri. Jika
    cerita yang kau pilih berisi kasih sayang dan keindahan, maka tangan
    yang menggunakan mu adalah tangan Tuhan. (Mario Teguh)
  • Maka bersegeralah menambahkan kebaikan dalam setiap langkah
    keseharian mu, agar keajaiban yang menata perjalanan hidupmu
    memindahkan mu ke jalan-jalan menuju taman-taman keindahan hidupmu.
    (Mario Teguh)
  • Rasa enggan adalah kekuatan yang sangat besar, baik untuk mencapai
    keberhasilan atau menyebabkan kegagalan. Maka engganlah terlibat dalam
    hal-hal yang tidak menghasilkan. Dan bersegeralah dengan hal-hal yang
    menghasilkan, walau sekecil apapun. (Mario Teguh)
  • Bukan kurangnya pengetahuan yang menghalangi keberhasilan, tetapi
    tidak cukupnya tindakan. Dan bukan kurang cerdasnya pemikiran yang
    melambatkan perubahan hidup ini, tetapi kurangnya penggunaan dari
    pikiran dan kecerdasan. (Mario Teguh)
  • Bila ada pelajaran yang harus segera kau perbarui pengertiannya
    kepada sahabat terdekat yang namanya diri mu itu, maka pelajaran itu
    adalah tentang keberanian
  • Sebuah nama bagi kesediaan untuk bertindak yang didasari oleh pengertian yang baik. (Mario Teguh)
  • Untuk merasa bahagia, bingung, kecewa, sedih, atau marah adalah
    masalah keputusan. Bila Anda memutuskan untuk merasa berbahagia maka
    bahagialah Anda. Dengannya, kebahagiaan Anda adalah sebetulnya hasil
    dari ketepatan keputusan-keputusan Anda (MTST – Deciding To Be Happy).
  • Orang-orang yang bekerja keras hari ini dan memastikan bahwa yang
    dilakukannya hari ini pantas mendapat penghargaan di masa depan, akan
    bisa lebih senang nanti menyambut masa depan yang datang dengan
    kualitas yang lebih baik. ( MT Star Point )
  • Awal dari kehidupan kita bukanlah rencana kita, dan saat
    berakhirnya pun bukan keputusan kita; tetapi telah semakin jelas bagi
    kita bahwa tugas kita adalah menjadikan waktu antara yang awal dan
    akhir itu, sebagai sebuah perjalanan yang terindah yang bisa kita capai
    dengan upaya kita, dan dengan bantuan penuh kasih dari Tangan Yang
    Tidak Terlihat itu. ( MT – Becoming is more important than Having )
  • Tak seorang pun pernah menjadi muski karena berbagi (Anne Frank)
  • Semua prestasi, semua kekayaan yang diperoleh, bermula dari satu gagasan (Napoleon Hill)
  • Lebih baik kata-kata derita tertulis di atas kertas darpada mumi membawa di dalam hari (Anne Frank)
  • Ketika berusaha maksimal, kita tidak akan pernah tahu keajaiban apa yang akan datang pada kita atau orang lain (Hellen Keller)
  • Sebagai seorang perempuan, saya tidak punya negara. Negara saya adalah dunia ini (Virginia Wolf)
  • Saya percaya pada dasarnya semua orang sungguh baik hatinya (Anne Frank)
  • Kita tidak pernah bisa belajar jadi berani & sabar kalau di dunia ini hanya ada kebahagiaan (Hellen Keller)
  • Anda tidak akan pernah menemukan kedamaian dengan cara mengabaikan kehidupan (Virginia Wolf)
  • Kebahagiaan siapa pun akan membuat orang lain bahagia juga (Anne Frank)
  • Rasa kasihan ada diri sendiri adalah musuh terburuk di dunia ini
    (Hellen Keller)Anda tidak tahu apa saja yang akan terjadi hanya saja
    tetaplah mencoba melakukan yang terbaik (Hillary Rhodam Clinton)
  • Tak ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada menimbulkan senyum
    pada wajah orang lain, terutama wajah orang yang kita cintai (RA
    Kartini)
  • Untukbisa menikmati kebebasan kita harus mengontrol diri sendiri (Virginia Wolf)
  • Tak seorang pesimis pin yang mampu menguak rahasia bintang-bintang (Hellen Keller)
  • Politik itu berat, ada banyak energi yang harus Anda curahkan (Hillary Rhodam Clinton)
  • Kemalasan memang tampak menggoda, tapi bekerja memberi kepuasan (Anne Frank)
  • Kebanggaan dan kepuasan dari kerja membuat saya insan yang lebih baik (Cindy Crawford)
  • Jauh lebih sulit membunuh bayang-bayang daripada membunuh sebuah realitas (Virginia Wolf)
  • Saya tidak punya cita-cita untuk diri saya sendiri. Cita-cita saya
    untuk Indonesia aga Indonesia jadi Negeri makmur (SK Trimurti)
  • Walau demokrasi di Indonesia tergolong baru, sudah banyak pencapaian yang didapat (Hillary Rhodam Clinton)
  • Yang luar biasa, Anda tidak perlu waktu khususuntuk mulai mengubah dunia (Anne Frank)
  • Mereka bisa karena mereka berpikir mereka bisa (Virginia Wolf)
  • Hasil tertinggi pendidikan adalah sikap teloransi (Hellen Keller)
  • Kalau kita tidak tahu siapa diri sendiri, kita tidak akan mencintai diri kita (Indayati Oetomo)
  • Anda tidak bisa ambil keputusan berdasarkan rasa takut atau apa
    yang mungkin terjadi di masa depan. Kita tidak bisa bangkit dengan cara
    itu (Michelle Obama)
  • Lebih banyak emas telah ditambang dari pemikiran manusia dibandingkan dengan yang diambil dari tanah (Napoleon H)

Jumat, 06 Juli 2012

MAKALAH HUKUM

BAB I I. Pendahuluan Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amaerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat). Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.3 Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli Atmasasmita lebih lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) Hukum Pidana Ingternasional dalam arti lingkup territorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ; (2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internbasional yang terdapat di dalam hukum pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law); (3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law); (4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations); (5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice); (6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word).Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional dalam arti materril. Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga nampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional. Misalnya, khusus tindak pidana korupsi, dimana pelaku (offender) maupun aset hasil korupsi tersebut kemudian disimpan di negara lain sehingga sehingga tidak saja meliputi batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi juga memasuki wilayah negara lain. BAB II PEMBAHASAN II. Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau internationale strafprocessrecht merupakan cabang ilmu hukum yang relative baru. Romli Atmasasmita menyebutkan pengembangan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai oleh pekerjaan Gerhard O.W. Mueller dan Edmund M. Wise yang telah menyusun suatu karya tulis International Criminal Law dalam rangka proyek penulisan di bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang telah menulis sebuah karya tulis A Treatise on International Criminal Law (1973). Sebagaimana apa yang telah diterangkan di atas maka eksistensi Hukum Pidana Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila dihubungkan dengan kejahatan transnasional. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama. 2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan penjabaran dari asas non-intervensi. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi. 3. Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negaranegara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik. 4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relative menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya ini tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana seperti undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan lain sebagainya tidak boleh ada ketentuannya yang bertentang dengan hak asasi manusia. Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berhubungan erat dan dapat diaplikasikan terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi yang merupakan bahasan topik dalam paper ini. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)6 mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa: 1.) Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official): a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”) b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”). c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”). 2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram. Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar Negara dan lain sebagainya.8 Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan Romli Atmasasmita, bahwa: “Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan pul “Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia. Oleh karena korupsi kejahatan yang bersifat transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu Negara dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini telah dilaksanakan misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara tersebut. Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu tidak adanya intervensi hukum antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh karena antara negara satu dan Negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hukum ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun asetnya disembunyikan. Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada Negara korban. Kembalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untuk memulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila Negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili negara yang bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh karena yang memutus adalah Mahkamah Internsional yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan. Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi. Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart10 secara global HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional. BAB II PENUTUP Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional yaitu sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya, sebagai pencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar dan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik berkorelasi dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap kejahatan korupsi. Oleh karena itu, diharapkan nantinya keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut relatif dapat lebih berperan maksimal bagi negara-negara di dunia untuk dapat menindaklanjuti kejahatan korupsi.

MAKALAH HUKUM NARKOBA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan menunjukan bahwa 50% penghuni LAPAS (lembaga pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba atau narkotika. Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri yang sulit didiktesi. Pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika  tersebut.
Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.
Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya penanggulangannya saat ini sedang mencuat dnan menjadi perdebatan para ahli hukum. Penyalahgunaan narkoba atau narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat kepada pemakaian jarum suntik yang pada akhirnya akan menularkan HIV.
Perkembangan kejahatan narkotika  pada saat ini telah menakutkan kehidupan masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk indonesia , telah berupaya untuk meningkatkan program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum sampai kepada program pengurangan pasokan narkoba atau narkotika.

BAB II
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
Apa pengertian narkotika serta jenis-jenis Narkotika?
Bagaimanakah kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang- Undang Narkotika (UU No. 35/2009 ) dalam penanggulangan tindak pidana narkotika ?
Siapa saja yang dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?
Bagaimana sangsi hukum pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika?

















BAB III
PEMBAHASASAN

Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.[1]
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Yang dimakud narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti  morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.[2]
Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 :
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika)
Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut ini:
•    Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
•    Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988)
•    Undang-undang  RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun 1997.
•    Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 35 tahun 2009  tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :[3]

    Sebagai pengguna
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009  tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.
    Sebagai pengedar
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35 tahun 2009  tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.
    Sebagai produsen
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama – sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional.
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Namun demikian, dalam tataran implementasi, sanksi yang dikenakan tidak sampai pada kategori maksimal. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kasus yang diproses memang ringan, sehingga hakim memutuskan dengan sanksi yang ringan pula. Kedua, tuntutan yang diajukan relatif ringan, atau bahkan pihak hakim sendiri yang tidak memiliki ketegasan sikap. Sehingga berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan

Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Narkotika
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni:

a)      takut berbuat dosa;
b)      takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif;
c)      takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.[4]
Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika serta implementasinya dalam penangulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:[5]
Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undangundang aja;
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;
    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
    Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.








BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1.Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan
Dalam UU No. 35/2009 jenis-jenis narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti  morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial.
Penanggulangan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan NARKOTIKA merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya berada pada pundak kepolisian ataupun pemerintah saja. Namun, seluruh komponen masyarakat diharapkan ikut perperan dalam upaya penanggulangan tersebut. Setidaknya, itulah yang telah diamanatkan dalam pelbagai perundang-undangan negara, termasuk UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika pandangan Agama narkoba adalah barang yang merusak akal pikiran, ingatan, hati, jiwa, mental dan kesehatan fisik seperti halnya khomar. Oleh karena itu maka Narkoba juga termasuk dalam kategori yang diharamkan Allah SWT.





DAFTAR PUSTAKA

Sunarso, siswantoro.2004.Penegakan Hukum Psikotropika. Jakarta:Rajawali Pers.
Makarao, taufik, et.al.2003 Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. H
Mardani.2007.Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta:Rajawali Pers.

Rabu, 04 Juli 2012

langkah - langkah membagi partisi hardisk dengan EASEUS Partition Master 7.0.1 Home

Bagi anda yang baru membeli PC atau notebook kadang anda mendapatkan partisi hardisk anda cuma satu yaitu drive C saja atau C dan D tapi anda ingin menyimpan file hiburan atau file penting anda dalam satu partisi pasti anda pusing karna partisi anda cuma ada drive system saja Jika sewaktu-waktu komputer anda harus di install ulang otomatis anda harus memindahkan file-file anda agar tidak hilang, seperti yang saya alami baru-baru ini.

Pada awalnya saya mencoba partisi hardisk saya dengan tools Partition Magic 8, tetapi entah kenapa ketika di Loading terjadi error "cannot loading disk", hal pertama yang saya perkirakan mungkin tools tsb crash, kemudian saya coba download ulang ternyata hasilnya sama saja. Berikutnya saya tanya di Google, ada yang menyatakan pengaturan Hardisk, ada yang menyatakan dari bawaan Windows dsb. Secara tidak sengaja saya menemukan tools bernama EASEUS Partition Master 7.0.1 Home Edition, tidak banyak pertimbangan dikarenakan tools tsb full gratis langsung saja di download dan dicoba, ternyata hasilnya sangat memuaskan, dengan tools tsb hardisk terbaca dan bisa dipartisi dengan sangat mudah beberapa langkah saja, jika rekan-rekan berkeinginan membagi hardisk menjadi beberapa partisi dan menemui kendala yang sama dengan saya tsb, berikut saya jelaskan langkah-langkahnya.

Software yang kita butuhkan adalah EASEUS Partition Master 7.0.1 Home Edition yang free. Anda dapat mendownloadnya di link ini : http://www.partition-tool.com/download.htm



Dengan software EASEUS Partition Master 7.0.1 Home Edition ini kita dapat membagi partisi hardisk tanpa harus menginstall ulang System, kita dapat membagi partisi hardisk tanpa merusak system ataupun data.

Berikut ini Cara Mudah Membagi Partisi Harddisk Windows XP, Vista, Seven :

Install softwarenya dan jalankan EASEUS Partition Master 7.0.1 Home Edition.
Contoh ini menggunakan harddisk 500Gb dan akan dibagi menjadi 2 partisi.

1. Pilih Partisi yang aktif
2. Klik menu Resize/Move





3. Kemudian Geser partisi yang kosong seperti tanda panah no 3 atau isi Partition Sizenya
4. Setelah anda mengatur partisi yang anda inginkan kemudian klik OK. Akan ada hasil partisi yang "Unallocated" atau belum terpartisi.








5. Pilih partisi yang Unallocated.
6. Klik menu CREATE untuk membuat partisi kedua.



 7. Masukkan Label atau nama Partisi tersebut kemudian klik OK.



8 Kemudian Klik APPLY untuk membuat permanen proses membagi hardisk di windows XP, Vista, Seven.





9. Bila muncul pesan, klik “Yes” maka komputer anda akan restart Sendiri
10. Ketika komputer anda booting ulang maka proses pembagian partisi akan di jalankan, tunggu sampai komputer tersebut restart kembali dan booting ulang sampai windows anda berjalan dengan normal.

Dan Harddisk anda akan terbagi menjadi 2 bagian. Anda dapat membagi sesuai dengan kebutuhan anda misalnya 3 bagian atau 4 bagian partisi harddisk.

Selamat mencoba !

Selasa, 03 Juli 2012

Makalah Hukum Waris

BAB I
PENDAHULUAN
Hukum kewarisan islam mengakui adanya prinsip keutamaan dalam kewarisan yang berarti lebih berhaknya seseorang atas harta warisan dibandingkan orang lain. Keutamaan dapat disebabkan oleh jarak yang lebih dekat kepada pewaris dibandingkan dengan orang lain, seperti anak lebih dekat dari cucu dan oleh karenanya lebih utama dari cucu dalam arti selama anak masih ada, cucu belum dapat menerima hak kwewarisan.
Keutamaan itu dapat pula disebabkan oleh kuatnya hubungan kekerabatan seperti saudara kandung lebih kuat hubungannya dibandingkansaudara seayah atau seibu saja, karena hubungan saudara kandung melalui dua jalur (ayah dan ibu) sedangkan yang seayah atau seibu hanya melalui satu jalur (ayah atau ibu).
Adanya perbedaan dalam tingkat kekerabatan itu diakui oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Anfal : 75
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
Artinya : “…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesama didalam kitab Allah…”
Untuk lebih jelasnya akan kami bahas dalam bab berikutnya.










BAB II
HISAB DAN BAGIAN-BAGIANNYA
A. Pengertian
Hijab dalam bahasa Arab ialah mencegah, menutup dan menghalangi. Orang yang menjadi penghalang atau pencegah dinakan hijab, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi ataupun ditutup dinamakan mahjub.
Menurut istilah ulama mawaris (faraid) ialah mencegah dan menghalangi orang –orang tertentu dalam menerima seluruh pusaka semuanya ataupun sebagiannya karena ada seseorang yang lain atau hijab.
Sementara itu Hazairin memberi defenisi tentang hijab, yaitu semacam sistem keutamaan yang menentukan siapa yang berhak menyingkirkan orang lain ikut serta dalam mawaris.
Sedangkan pemakalah mengartikan/mendefenisikan hijab yaitu menghijab atau menghalangi dari mendapatkan dan juga menerima pusaka semuanya atau sebagiannya karena ada seseorang yang lain. Dengan kata lain terhalangnya seorang yang berhak menjadi ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih utama dari padanya.
B. Sebab Yang Menghijab Atau Mendinding Menurut Hukum Waris Islam
1.    Sifat Khas Yang Ada Pada Seseorang
a). Perbedaan agama yaitu orang islam tidak mendapat pusaka dari orang yang kafir, demikian juga sebaliknya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw
لا ير ث المسلم الكا فر ولايرث الكا فر المسلم
Artinya : “orang islam tidak jadi waris bagi sikafir dan tidak pula sikafir jadi waris bagi orang islam” (HR. Bukhari)
b). Pembunuhan, yaitu orang-orang yang membunuh kelurganya tidak mendapat pusaka dari keluarga yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah saw :
ليس لقا ءل ميراث
Artinya : “tidak ada pusaka bagi sipembunuh” (HR. Malik)
c). Hamba (budak). Seorang hamba (budak) tidak mendapat pusaka dari tuannya atau orang merdeka.
d). Anak zina. Anak yang tidak sah tidak dapat menerima waris dari bapaknya.
2. Kedudukan Seseorang
Yaitu orang yang lebih kuat atau lebih dekat kepada simayitb dari yang mahzub itu. Penghalang ini dapat mengurangi hak ataupun menghilangkan hak.
a). Mengurangi hak terhadap seluruh warisan
1). Mengurangi hak seperti anak terhadap suami. Jika ada anak, suami mendapat seperempat. Jkia tak ada anak hak suami mendapat setengah.
2). Mengurangi hak dengan jalan memindahkan hak dari bagian tertentu kepada bagian yang tidak tertentu. Seperti anak lelaki bagi anak perempuan jika ada anak lelaki maka hak anak perempuan menjadi setengah dari yang diperoleh oleh anak lelaki atau sepertiga.
b). Menghilangkan hak menerima pusaka. Hukum ini dapat berlaku terhadap segala waris yang selain darei enam orang, bapak, ibu, anak lelaki, anak perempuan, suami, dan istri.
C. Macam-Macam Hijab
1) Hijab Hirman/ Hijab Penuh
Yaitu penghalang yang menyebabkan seorang ahli waris yang lain.
Dengan kata lain tertutupnya hak warisan seseoarang ahli waris secara menyeluruh, dengan arti ia tidak mendapatkan apa-apa disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kepada pewaris daripada dirinya.
Ahli waris yang dapat terhijab secara penuh itu ialah ahli waris kecuali anak, ayah, ibu, dan suami atau istri. Kelima ahli waris ini tidak akan terhijab secara penuh. Sedangkan suami dan istri tidak pernah menghijab siapapun diantara ahli waris.
Tentang anak perempuan dan ibu menurut jumhur ahli sunnah tidak dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh. Ulama golongan syi’ah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalaam menghijab. Dalam arti keduanya dapat menghijab ahli waris lain secara hijab penuh sebagaimana yang berlaku terhadap anak laki-laki dan ayah.
2) Hijab Nuqsan / Hijab Kurang
Yaitu penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian sesorang ahli waris.  dengan kata lain berkurangnya bagian yang semestinya diterima oleh seo rang ahli waris karena ada ahli waris lain.
Ketentuan tentang hijab nuqsan ini data terlihat secara nyata dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 11-12. secara umum dapat dikatakan bahwa setiap ahli waris yang berhak dapat terkena hijab nuqsan, namun tidak semua ahli waris dapat menghijab ahli waris lainnya secara hijab nuqsan.
Tentang siapa-siapa yang dapat terhijab nuqsan dan menghijab nuqsan serta berapa pengurangannya adalah sebagai berikut :
a) Anak laki-laki atau cucu laki-laki
• Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
• Suami dari ½ menjadi ¼
• Istri ¼ menjadi 1/8
• Ayah dari seluruh atau sisa harta menjadi 1/6
• Kakek dari seluruh atau sisa harta menjadi 1/6
b) Anak perempuan
• Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
• Suami dari ½ mebjadi ¼
• Istri ¼ menjadi 1/8
• Bila anak perempuan seorang, maka cucu perempuan dari ½ menjadi ¼
c) Cucu perempuan
• Ibu dari 1/3 menjadi 1/6
• Suami dari ½ mebjadi ¼
• Istri ¼ menjadi 1/8
d) Beberpa orang saudara dalam segala bentuknya mengurangi hakm ibu dari 1/3 menjadi 1/6
e) Saudara perempuan kandung. Dalam kasus ini hanya seorang diri dan tidak bersama anak atau saudara laki-laki, maka ia mengurangi hak saudara perempuan seayah dari ½ menjadi 1/6.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hijab dalam bahasa arab ialah mencegah, menutup dan menghalangi. Orang yang menjadi penghalang atau pencegah dinakan hijab, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi ataupun ditutup dinamakan mahjub.
Menurut istilah ulama mawaris (faraid) ialah mencegah dan menghalangi orang –orang tertentu dalam menerima seluruh pusaka semuanya ataupun sebagiannya karena ada seseorang yang lain atau hijab.
Sebab Yang Menghijab Atau Mendinding Menurut Hukum Waris Islam :
-Sifat khas yang ada pada seseorang
-Kedudukan seseorang
Macam-macam hijab :
Hijab hirman/ hijab penuh
Hijab nuqsan / hijab kurang.










DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddiegi, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqih Mawaris, PT Pustaka Riski Putra, Semarang : 1997
Lubis, Suhrawardi K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta : 1995
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam, Bina Pustaka, Jakarta : 1984
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Pranada Media, Jakarta :

Minggu, 24 Juni 2012

TREND KRIMINALISASI DALAM HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

TREND KRIMINALISASI DALAM HUKUM KELUARGA
DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

A. Pendahuluan
Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sangsi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Dalam  hal  poligami  misalnya, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern. Demikian pula jika dibandingkan dengan kebijakan hukum di negara-negara non-Muslim (negara Barat).      
Seperti disebut dalam judul di atas, tulisan ini hanya memfokuskan kajian pada beberapa negara Muslim : Turki, Tunisia, Irak, Malaysia, dan Indonesia,  dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara); komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan perbandingan yang lebih luas, penulis juga akan melengkapi tulisan ini dengan  tinjauan terhadap kebijakan hukum mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara Barat).  
B. Pemberlakuan Sanksi Hukum dalam Hukum Keluarga Negara Muslim
    Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini rincian sejumlah persoalan  tersebut:
1.    Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia nikah)
        Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut  secara eksplisit memberlakuan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah ini. 
        Di Bangladesh, seseorang yang menikahi anak di bawah umur dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 taka; atau kedua sekaligus.  Sedangkan di Iran, siapa pun yang menikahi atau menikahkan seseorang yang di bawah usia nikah minimal dapat dikenakan hukuman penjara 6 bulan hingga 2 tahun. 
        Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.  Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah).  Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.  Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan  tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya  dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.
Dalam pada itu, berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Yaman (Selatan) semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pendukung) melakukan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1. 1974 (antara lain mengenai usia minimal kawin: 18 (pria) dan 16 (perempuan) dan selisih usia maksimal 20 tahun, terkecuali jika calon istri telah mencapai usia 25 tahun), dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau keduanya sekaligus.
2.    Perkawinan secara paksa
Irak dan Malaysia merupakan negara yang mencantumkan sanksi hukum dalam Hukum Keluarga mereka dalam persoalan ini. Di Irak, ketentuan hukum dirinci menurut pelakunya. Sebagai contoh, setiap pihak yang mengawinkan secara paksa, selain keluarga garis pertama, dapat dijerat dengan hukuman penjara maksimal 3 tahun beserta denda; jika pelakunya adalah pihak keluarga garis pertama maka hukumannya adalah penjara maksimal 3 tahun tanpa denda; apabila pelakunya adalah salah satu calon mempelai maka dapat dijatuhi hukuman penjara  maksimal 10 tahun atau kurungan minimal 3 tahun. 
Sanksi yang kelihatannya sedikit lebih ringan di berlakukan oleh Malaysia. Berdasarkan Hukum Keluarga di sana, siapa saja yang memaksa seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘ dapat dikenakan hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau  penjara maksimal 6 bulan atau kedua sekaligus.

3.    Pencegahan terhadap perkawinan yang dibolehkan syara’
Tampaknya hanya Malaysia yang secara eksplisit menerapkan hukuman dalam masalah yang satu ini. Siapapun yang mencegah seseorang untuk menikah di luar alasan yang diizinkan hukum syara‘, menurut Hukum Keluarga Malaysia, dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit atau  penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.

4.    Perkawinan yang dilarang
Jika pada Hukum Keluarga negara-negara Muslim yang lain cenderung hanya memuat sejumlah bentuk perkawinan yang dilarang dan menetapkan batalnya perkawinan tersebut, Somalia dan Srilanka tampaknya mengambil langkah yang lebih maju, dengan menetapkan kriminalisasi terhadap pelanggaran atas hal tersebut. Di Somalia, pelaku (pria) yang menikahi kembali mantan istri yang dicerai talak tiga, sebelum mantan istri tersebut menyelesaikan masa iddahnya dari perceraiannya dengan pria (suami) lain dan sudah pernah berhubungan biologis dengan suami yang menceraikannya tersebut, dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 6 bulan dan denda maksimal 1000 SO Sh. 
Srilanka memberlakukan hukuman penjara maksimal 3 tahun bagi setiap pria muslim yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau telah atau berupaya untuk mendapatkan (hak) berhubungan badan dengan perempuan-perempuan yang  dilarang syara‘ untuk dinikahi.  Hukuman yang sama juga berlaku bagi wanita muslim (berusia di atas 12 tahun) yang secara sengaja melakukan perkawinan, atau mengizinkan untuk berhubungan badan dengan pria yang dilarang syara‘ untuk menikahinya.
Hukum Srilanka juga memberlakukan sanksi terhadap setiap wanita muslimah yang selama masa iddahnya mengikat tali pernikahan atau ikut serta sebagai pengantin dalam suatu upacara perkawinan, dan setiap orang yang mendukung atau membantu terselenggaranya ikatan perkawinan atau perlaksanaan upacara perkawinan tersebut. Para pelaku tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.
5.    Pendaftaran dan pencatatan perkawinan
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.
Di Indonesia, sanksi hukuman dapat dijatuhkan terhadap petugas (pencatatan) yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan. Dalam hal ini hukumannya adalah penjara/kurungan maksimal 3 bulan  atau denda maksimal Rp. 7.500.,-  Sedangkan di Iran sanksi hukum diberlakukan dalam kasus perkawinan yang dilakukan tanpa registrasi. Pihak bersangkutan (pria yang menikah) diancam hukuman penjara 1 –  6 bulan.
Yaman (Selatan) memberlakukan hukuman denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus terhadap semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No.1/ 1974.  Sementara di Yordania, mempelai (yang melangsungkan pernikahan), pihak pelaksana dan para saksi terkait perkawinan yang tak terdaftar (tanpa registrasi pihak berwenang) dapat dikenakan hukuman penjara berdasarkan ketentuan Jordanian Penal Code (UU Hukum Pidana Yordania) dan denda maksimal 1000 dinar.
Menarik untuk dicatat bahwa Srilanka, meskipun penduduk Muslimnya bukanlah mayoritas, malah cenderung lebih banyak memasukkan aturan kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Muslim yang diberlakukan di sana.  Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan berikut:
a.    Membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perkawinan dan perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maks. 3 tahun.
b.    Melanggar ketentuan Ps. 81:
-    Mempelai pria; petugas pencatatan yang lalai atau enggan mencatatkan pernikahannya; atau lalai/enggan melaksanakan tugas pencatatan  suatu pernikahan;
-    Siapa saja yang mendukung atau membantu seorang laki-laki Muslim untuk memperoleh atau mempengaruhi atau mendaftarkan suatu perceraian di luar (tidak sesuai dengan) ketentuan dalam UU ini atau bersekongkol melanggar melalui cara lain;
-    Qadi, petugas pencatatan, dan pihak yang turut andil (berpartisipasi) melanggar berbagai aturan dalam Ps. 56 ayat (1) tentang larangan bagi qadi atau petugas pencatatan mengizinkan orang lain untuk menempati posisi mereka dan menjaga semua buku, dokumen, berkas terkait; atau Ps. 56 (4) tentang larangan, kecuali qadi atau petugas pencatatan, menyimpan buku, daftar, atau catatan yang dimaksudkan sebagai daftar suatu perkawinan atau perceraian orang Muslim, atau rekaman berita acara mengenai perceraian yang diakibatkan atau mengaku diakibatkan oleh pihak lain.

    Mereka di atas akan dijatuhi hukuman untuk pertama kali adalah denda maksimal 100 rupee, sedangkan hukuman untuk yang kedua /selanjutnya maksimal 100 rupee atau penjara  maksimal 6 bulan atau keduanya sekaligus (denda dan penjara).

c.    Petugas pencatatan yang sengaja melakukan pencatatan, dan  pihak lain yang mendukung atau membantu pencatatan suatu perkawinan yang bertentangan dengan aturan Pasal 22 (kawin pada masa iddah), 23 (Perkawinan di bawah umur), atau 24 ayat (4) (berpoligami melalui izin Hakim) dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.
d.    Setiap pihak, bukan seorang qadi (hakim), yang mengeluarkan atau menyatakan untuk mengeluarkan izin atau daftar/catatan sebuah perceraian berdasarkan UU ini, atau pihak yang bukan petugas pencatatan, melakukan pencatatan atau menyatakan akan mencatat suatu perkawinan berdasarkan UU ini dapat dijatuhi denda 100 rupee; atau hukuman penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus 
e.    Setiap pihak yang sengaja atau mengetahui membuat keterangan palsu dalam suatu pernyataan yang ditandatanganinya berdasarkan Ps. 18 ayat (1) (tentang pengisian dan penandatangan formulir registrasi perkawinan oleh pasangan pengantin dan wali pihak perempuan) dapat dikenakan denda maks. 100 rupee; atau penjara maks. 6 bulan; atau keduanya sekaligus.
f.    Setiap petugas pencatatan:
1)    Lalai atau menolak tanpa sebab/alasan yang sah melakukan pencatatan perkawinan;
2)    Kecuali dalam kasus yang terdapat pada Pasal 11, melakukan pencatatan suatu perkawinan yang diadakan di luar wilayah tugasnya;
3)    Melakukan pencatatan suatu perkawinan yang melanggar kondisi-kondisi atau batasan yang terdapat pada surat tugasnya;
4)    Mencatat suatu perkawinan yang tidak dihadirinya;
5)    Sengaja menolak untuk melaksanakan atau yang terkait  dengan pencatatan suatu Perkawinan; suatu kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Pasal 18, 19, atau ps. 58;
6)    Sengaja melanggar / menentang berbagai aturan dalam UU ini.

    dapat dikenakan hukuman Denda maksimal 100 rupee.

6.    Perkawinan diluar Pengadilan
Di Irak, pria yang melakukan perkawinan di luar pengadilan dapat dijatuhi hukuman Penjara minimal 6 bulan & maksimal 1 tahun; denda minimal 300 dinar & maksimal 1000 dinar.  Melakukan perkawinan di luar pengadilan saat perkawinan sebelumnya masih berlangsung/terjalin dapat diganjar hukuman penjara minimal 3 tahun & maksimal 5 tahun. 

7.  Mas kawin dan biaya perkawinan
        Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan aturan sanksi hukum  dalam masalah ini.
        Di Bangladesh, memberi atau mengambil atau bersekongkol memberi atau mengambil hantaran kawin diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 5000 taka; atau keduanya sekaligus. Hukuman yang sama juga berlaku bagi siapa pun yang meminta hantaran kawin kepada orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita atau pria.  Sedangkan di Pakistan, pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara maksimal  6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini; atau keduanya sekaligus.  Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini.

8.    Poligami & hak istri dalam poligami
Poligami merupakan masalah yang paling banyak dikenakan pemberlakuan sanksi hukum oleh Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern. Di luar negara-negara yang memberlakukan aturan yang mempersulit ruang gerak poligami tanpa menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelakunya, setidaknya 8 negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Uraian lebih lanjut mengenai ketentuan kriminalisasi praktik poligami ini akan dipaparkan secara khusus dalam bahasan mendatang.    

9.    Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian 
Iran, Malaysia, Mesir, Pakistan, Yordania, dan Srilanka mencantunkan sanksi hukum dalam pasal-pasal Hukum Keluarga mereka terkait persoalan ini. Di Iran, misalnya, para suami yang melakukan perceraian atau menarik kembali penjatuhan talak/cerai yang dilakukan tanpa registrasi dapat diancam hukuman penjara 1 –  6 bulan.
Menurut ketentuan Hukum Keluarga di Malaysia, penjatuhan talak di luar dan tanpa izin pengadilan dapat dikenakan denda 1000 ringgit; atau penjara maksimal 6 bulan; atau keduanya sekaligus.  Sedangkan di Mesir, berdasarkan Law on Personal Status 1929 yang dipertegas lagi dalam amandemennya UU No.100 1985 Pasal 23 A, suami yang tidak melakukan   pendaftaran perceraian dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 6 bulan; atau denda 200 pound; atau keduanya sekaligus. Begitu pula petugas pencatatan yang menolak atau tidak melaksanakan tugas pencatatan perceraian dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 1 bulan & denda minimal 50 pound Mesir.
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya  kepada istri,  dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.  Dalam pada itu, Yordania memberlakukan hukuman menurut UU Hukum Pidana negara itu terhadap suami yang menceraikan istri (di luar Pengadilan) tanpa melakukan langkah registrasi.  Sementara di Srilanka, membuat data palsu pada pencatatan, buku, izin, dokumen, salinan (copy) sekitar perceraian dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun

10. Hak-hak istri yang dicerai suaminya
        Tunisia tampaknya bergerak sendiri dalam masalah yang satu ini. Menurut UU Tunisia, suami yang menghindar dari kewajiban memberi nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara  3 hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar.  

11.    Masalah hak waris perempuan
Harus diakui, mungkin, hanya Libya yang secara khusus memberikan perhatian dalam masalah ini. Berdasarkan UU yang berlaku di Libya, pengabaian (tidak memberi) hak warisan wanita dapat diancam dengan hukuman penjara sampai hak warisan wanita bersangkutan diberikan/dipenuhi.

12. Pelanggaran terhadap UU Hukum keluarga yang berlaku (diluar pasal-pasal  yang sudah ditentukan sanksi hukumnya)
Jika dalam Hukum Keluarga mayoritas negara-negara Muslim hanya mencantumkan sanksi hukum dalam beberapa pasalnya, tidak demikian keadaannya dengan Hukum Keluarga Muslim Srilanka. Di luar pasal-pasal tertentu yang sudah ditentukan sanksi hukumnya,  setiap pelanggaran di luar pasal-pasal tersebut dapat dijatuhi hukuman denda maksimal 100 rupee.

Dari keterangan di atas dapat ditarik sejumlah catatan sebagai berikut:
a.    Bahwa poligami menempati urutan teratas (8 negara) dalam daftar persoalan Hukum Keluarga yang diancam dengan sanksi hukum (kriminalisasi poligami), menyusul masalah perceraian di luar pengadilan/ tanpa registrasi (6 negara), dan berikutnya adalah masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan (5 negara).
b.    Meskipun secara umum sanksi yang dijatuhkan masih diarahkan kepada si pelaku pelanggaran, namun di beberapa negara selain pelaku, hukuman juga dijatuhkan kepada pihak pendukung, penyelenggara, bahkan petugas berwenang yang terkait dengan pelanggaran.
c.    Sanksi yang diberikan pada umumnya berupa hukuman penjara/kurungan; atau denda; atau keduanya sekaligus. Meskipun bersifat relatif, hukuman tertinggi terdapat di Irak yakni 10 tahun & minimal 3 tahun penjara dalam kasus perkawinan secara  paksa. Sedangkan sanksi paling rendah ada di Mesir yakni 1 bulan penjara dalam kasus petugas pencatat yang menolak/tidak melaksanakan tugas pencatatan. 
d.    Srilanka tercatat sebagai negara terbanyak mencantumkan sanksi hukum  dalam Hukum Keluarga Muslim (sekitar 11 masalah); sedangkan Libya (tentang hak waris wanita) dan Somalia (larangan menikahi mantan istri yang ditalak tiga sebelum dipenuhi persyaratannya) sejauh ini menjadi  negara yang paling sedikit meletakkan sanksi dalam Hukum Keluarga mereka.

C. Kriminalisasi Praktik Poligami: Identifikasi Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.  Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda. 
        Adapun istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)  atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)  dan gamos (kawin).  Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).   Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. 
        Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligini. Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri.  Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:
“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than one female. Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one male.”   
   
    Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy,  yang berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian)  dan gamos (perkawinan).  Secara simpel monogami dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:
a.    Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu.
b.    Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi  seumur hidup. 
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini. 
    Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan monogami  sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal.  

D. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Perspektif Doktrin Hukum Islam Konvensional
    Pembahasan mengenai kriminalisasi poligami dilihat dari sudut doktrin hukum konvensional setidaknya memerlukan dua segi tinjauan: pertama, konsep kriminalisasi; kedua, status hukum poligami. Segi yang pertama diarahkan pada kajian hukum jinayat (pidana Islam), sementara segi yang kedua ditinjau dari kajian tafsir nas dan pandangan mazhab fikih. Identifikasi kedua sudut tersebut penting diungkapkan dalam rangka memahami seberapa jauh langkah kriminalisasi poligami punya keterkaitan atau tidak dengan doktrin hukum konvensional.
    Dalam kajian hukum jinayah, dilihat dari segi kualitas dan kuantitas sanksi hukum (‘uq­b±t), fuqaha umumnya mengklasifikasikan tindak pidana (jar³mah) kepada tiga bagian: pertama, jar³mah ¥ud­d; kedua, jar³mah qi¡±¡-diy±t; ketiga, jar³mah ta‘z³r.   Berikut ini gambaran umum mengenai ketiga kategori tersebut:
    Kategori pertama, ¥ud­d (bentuk jamak dari kata ¥ad), adalah jenis hukuman yang bentuk dan ukurannya telah ditetapkan (oleh syara‘), terkait dengan hak Allah atau demi kemaslahatan umum. Mengenai bentuk-bentuk tindak pidana yang dikategorikan sebagai  jar³mah ¥ud­d ada tujuh macam, yaitu: 1) perzinahan 2) melakukan tuduhan zina 3) mengonsumsi minuman keras 4) pencurian 5) perampokan 6) pindah agama 7) pemberontakan.  
    Adapun kategori kedua, qi¡±¡-diyat,  mencakup tindak pidana: 1) pembunuhan dengan sengaja 2) pembunuhan semi sengaja 3) pembunuhan yang keliru 4) penganiayaan secara sengaja 5) penganiayaan yang keliru. Bentuk sanksi hukum bagi tindak pidana qi¡±s-diyat, secara variatif, meliputi: qi¡±s-diyat, kafarat, terhalang dari hak waris, terhalang dari hak wasiat.  
    Kategori ketiga adalah pidana ta‘©³r, suatu tindak pidana berupa perbuatan maksiat atau jahat yang dikenai sanksi hukuman yang tidak ditentukan oleh syara‘ (non-¥ad dan non-kaff±rat), baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak hamba.  Dengan kata lain hukuman ta‘z³r adalah hukuman yang dijatuhkan pada perbuatan jinayah selain kedua kategori di atas (jar³mah ¥ud­d dan jar³mah qi¡±¡-diyat). Kebijakan pidana ta‘©³r sendiri merupakan otoritas ulul amri (pemerintah/yudikatif) dimana bentuk sanksi hukumannya pun beragam bisa berupa pemukulan, penahanan (kurungan/pemenjaraan),  teguran/peringatan, dan bentuk hukuman lainnya sesuai dengan pertimbangan kontekstual.  Malah sebagian ulama, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, membolehkan penjatuhan hukuman mati terhadap tindak pidana yang dilakukan berulang kali atau sadis, homo seksual, pelecehan agama/simbol agama, perbuatan sihir (santet), dan perbuatan zindiq. Semua langkah hukum ini  diletakkan dalam kerangka siyasah berdasarkan pertimbangan hakim mana yang dipandang lebih maslahat (tepat).  Sedangkan, kalangan Malikiyah dan Hanabilah juga memasukkan perbuatan spionase dan  bid’ah dalam kategori ta‘z³r yang dapat dijatuhi hukuman mati. 
    Adapun mengenai jenis tindak pidana yang dapat dikenai ancaman hukuman kurungan/penjara, dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyah menetapkan hukuman kurungan/penjara dapat dikenakan pada semua jar³mah ta‘©³r. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak berlaku pada semua jar³mah ta‘©³r.  Menurut mereka hanya 8 (delapan) tindak pidana yang dapat dikenai hukuman kurungan /penjara, yaitu: (1) percobaan pembunuhan; (2) pelarian diri oleh budak; (3) pengingkaran penunaian kewajiban; (4) pengakuan palsu atas kebangkrutan; (5) perbuatan maksiat; (5) keengganan melaksanakan kewajiban sebagai muslim yang tidak dapat diwakilkan; (7) pengakuan kepemilikan secara paksa; (8) keengganan melakukan kewajiban ibadah (hak Allah) yang tak dapat diwakilkan. 
    Dalam hal dapat diberlakukan tidaknya hukuman denda, para ulama juga berbeda pendapat. Sebagian ulama tidak membolehkannya dengan alasan hal itu sama dengan pengambilan harta secara zalim. Sedangkan Abu Yusuf, Imam Malik ibn Anas, Imam Syafi‘i (salah satu qaul-nya), dan Imam A¥mad ibn ¦anbal membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan sahabatnya, Khalifah Umar ibn Kha¯¯±b dan Khalifah Ali ibn Abi Talib. 
    Sedangkan mengenai hukuman fisik (berupa pemukulan misalnya) ulama sepakat membolehkannya berdasarkan praktik yang pernah diterapkan oleh Rasulullah dan Khulafa’ ar-Rasyidin, meskipun dalam hal ketentuan dan batas maksimalnya terdapat perbedaan pendapat.  
    Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa poligami, jika dilihat dari kategori dan bentuk  hukum pidana Islam di atas, bukanlah termasuk tindak pidana kategori pertama (¥ud­d) dan juga tidak termasuk kategori kedua (qi¡±¡-diyat). Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya ada satu kemungkinan bahwa poligami lebih cenderung diposisikan dan dilihat dalam wilayah kategori ketiga, yaitu tindak pidana ta‘z³r, dimana peran politik hukum (siyasah) memerankan peran dominan dalam penentuan kategori dan bentuknya. Dari sudut tinjauan ini, secara teoritis, dapat dikatakan bahwa kriminalisasi poligami tetap relevan dengan doktrin hukum Islam konvensional, khususnya yang terkait dalam wilayah jin±yah. Namun, apakah poligami dapat dianggap perbuatan   maksiat atau jahat sehingga dapat dijatuhi hukuman ta‘z³r atau tidak? merupakan pertanyaan yang perlu ditelusuri jawabannya.
    Mengenai masalah poligami, sepanjang penelusuran pustaka oleh penulis, fokus pembicaraan dalam literatur mazhab fikih pada umumnya sama sekali tidak mempersoalkan kebolehan poligami. Hal yang diperdebatkan adalah lebih kepada persoalan jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami, sebagai akibat perbedaan dalam memahami ayat Alquran yang memuat persoalan poligami (S. an-Nisa: 3).  Berbagai ulasan fikih lebih cenderung memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang ingin berpoligami seperti kemampuan materi dan kewajiban berlaku adil kepada istri/istri-istri mereka.  Sikap yang relatif sama juga ditunjukkan oleh para mufassir (kalangan klasik khususnya) ketika memahami pernyataan nas tersebut. Berbagai uraian dalam masalah ini tampaknya terkait erat dengan pemahaman dan interpretasi mereka atas sejumlah pernyataan Alquran dan as-Sunnah. 
    Di dalam Alquran, surat an-Nisa: 3, dinyatakan:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا(3)

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
    Para mufasir sepakat bahwa sebab turun ayat  diatas berkaitan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Ada sejumlah riwayat mengenai asb±b an-nuz­l ayat ini, di antaranya riwayat :
     Ab­ Bakr at-Tam³m³ telah mengabarkan kepada kami, ‘Abdullah ibn Mu¥ammad telah mengabarkan kepada kami, katanya: Ab­ Ya¥y± menceritakan kepada kami, katanya: Sahl ibn ‘U£m±n menceritakan kepada kami, katanya: Ya¥ya ibn Z±’idah menceritakan kepada kami, dari Hisy±m ibn ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘²isyah ra. mengenai firman Allah (wa in khiftum alla tuqsi¯­…), ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali  seorang anak yatim perempuan yang memiliki harta sementara tak ada seorang pun yang melindunginya, ayat ini melarang laki-laki tersebut menikahi anak perempuan tersebut hanya karena menginginkan hartanya, namun menyengsarakan dan menyakitinya, sehingga Allah berfirman: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi. Allah (dalam kondisi seperti ini seolah-olah ingin, pen.) mengatakan: Aku tidak menghalalkannya bagimu karena itu tinggalkanlah (Riwayat Muslim dari Ab³ Kuraib dari Ab³ Us±mah, dari Hisy±m).      
    Setelah Allah melarang mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara tidak benar (an-Nisa : 2), bagian berikutnya Allah mengingatkan agar  tidak berbuat aniaya terhadap diri (individu) anak-anak yatim tersebut. Allah menegaskan: Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, di sisi lain kamu merasa cukup percaya diri dapat  berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain mereka, maka nikahi apa yang kamu senangi sesuai keinginanmu dan halal dari perempuan-perempuan tersebut, kamu dapat menikahi mereka dua, tiga, atau empat orang, tapi jangan lebih, dalam waktu bersamaan. Namun jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dalam kebutuhan dan persoalan lahiriah, bukan dalam soal perasaan/cinta) apabila kamu mempunyai lebih dari seorang istri,  maka nikahilah seorang saja atau nikahilah hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu (menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan mencukupkan satu orang istri) adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu pada keadilan.        
    Sedangkan hadis yang sering dikemukakan antara lain adalah:
حدثنا هناد حدثنا عبدة عن سعيد بن أبي عروة , عن معمر, عن الزهري , عن سالم بن عبد الله , عن ابن عمر : أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم وله عشرة  نسوة  في جاهلية , فأسلم معه. فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير أربعا منهن .

“Dari Ibn Umar : bahwa Ghail±n ibn Salamah ketika masuk Islam memiliki 10 orang istri (yang disuntingnya di saat jahiliyah), maka Nabi saw. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang di antara mereka sebagai istri.”    

    Dalam memahami ayat-ayat Alquran yang terkait dengan poligami, kecuali batasan maksimal jumlah istri yang boleh dipoligami, secara umum hampir tidak terdapat perbedaan penafsiran di kalangan tradisionalis. Mayoritas ulama, dengan berdalilkan petunjuk ayat dan hadis di atas serta praktik generasi salaf menegaskan jumlah maksimal poligami adalah empat orang istri. Sedangkan sebagian ulama lain (minoritas), juga dengan dasar argumentasi ayat yang sama (S. an-Nisa ayat 3), antara aliran ar-R±fi«ah (salah satu sekte Syi‘ah) berpendapat jumlah maksimal adalah sembilan orang istri; pendapat lain (aliran ahl a§-¨±hir) menyatakan delapan belas istri.
    Interpretasi juga lebih ditekankan kepada seruan berlaku adil terhadap para istri. Hal ini dimotivasi pesan historis ayat, sebagaimana terlihat dalam asb±b an-nuz­l di atas, yang berbicara mengenai perlakuan zalim terhadap anak-anak yatim perempuan (obyek eksploitasi) sehingga menghimbau kepada kaum Muslimin (para suami) untuk berlaku adil kepada mereka, ketika muncul kekhawatiran tidak dapat berlaku adil maka sepatutnya membatasi nikah hanya dengan seorang istri, atau dengan hamba sahaya perempuan miliknya.  Tampaknya penafsiran dalam kerangka ini lebih bertendensi pada telaah tekstual, di samping dukungan historis praktik Rasulullah, para Sahabat dan generasi setelahnya yang menunjukkan bahwa poligami bukanlah suatu yang dilarang. Dalam pengertian lain, menurut penafsiran tradisional izin berpoligami mempunyai kekuatan hukum, sedangkan keharusan untuk berbuat adil kepada para istri, meskipun sangat penting, terserah kepada kebaikan sang suami (walaupun hukum Islam tradisional memberikan hak kepada para wanita untuk meminta pertolongan atau perceraian apabila mereka diperlakukan suami mereka dengan buruk). Dari sudut normatif, keadilan terhadap para istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung pada kebaikan suami, meskipun pasti akan dilanggar.
    Sebaliknya kalangan modernis cenderung mengedepankan keharusan bersikap adil dan pernyataan Al-Qur’an bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, firman Allah:
   
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(129)
“Dan kamu tidak akan dapat berbuat adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (S. an-Nis±’: 129)

 mereka menegaskan bahwa izin berpoligami itu hanya bersifat tentatif dan untuk tujuan-tujuan tertentu.
    Menurut Muhammad Abduh (1849-1905) persoalan poligami yang terdapat dalam ayat 3 an-Nis±’ berkaitan erat dengan konteks ayat perihal anak yatim dan larangan memanfaatkan harta mereka meskipun dengan perantaraan perkawinan. Ketika  seseorang merasa khawatir (akan) mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim yang bakal dinikahinya maka ia wajib tidak menikah dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk menikah dengan perempuan-perempuan lain hingga empat orang. Namun apabila ia juga khawatir tidak akan mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib baginya menikah dengan satu orang istri saja.  
    Adapun ungkapan “fa in khiftum all± ta‘dil­ fa w±¥idah” (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka [nikahilah] seorang saja), Abduh menjelaskan bahwa hal itu terkait dengan alasan “©±lika adn± all± ta‘­l­” (Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim), yakni lebih dekat kepada tidak terjadi perbuatan dosa dan kezaliman. Hal ini memperkuat adanya syarat dan kewajiban agar berlaku adil. Sikap adil ini sendiri adalah hal yang langka, Adapun adil yang dimaksud dalam firman Allah dalam ayat 129 di atas (wa lan tasta¯³‘­ an ta‘dil­ baina an-nis±’ wa lau ¥ara¡tum…) adalah adil dalam hal kecenderungan hati, yang  jelas tak seorang pun mampu melakukannya.
    Berdasarkan dua ayat di atas dapat dipahami bahwa pembolehan poligami bagi suami dalam ayat tersebut merupakan hal yang amat dibatasi dengan ketat, sehingga seolah-olah mencapai tingkat darurat, pembolehannya harus memenuhi syarat bahwa suami harus dipercaya untuk dapat berlaku adil dan aman dari berbuat dosa (perbuatan menzalimi istri dan atau anak-anaknya). Abduh menilai bahwa jika memperhatikan poligami yang cenderung dipraktikkan secara destruktif pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak seorang pun mampu membina suatu umat yang menyalahgunakan poligami  secara luas. Sebab rumah tangga yang terdiri dari dua orang istri cenderung tidak stabil dan sulit terwujud ketenangan. Bahkan suami dan para istri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangga tersebut, karena di antara para istri satu sama lain bermusuhan, demikian pula antara anak-anak mereka. Bahaya yang ditimbulkan tersebut akan meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dari keluarga ke lingkungan masyarakat, selanjutnya kepada kehidupan bangsa dan negara.
    Dengan melihat dampak buruk yang sering terjadi akibat poligami di Mesir, Abduh menyarankan kepada ahli hukum di masanya untuk memformulasi hukum yang lebih kontekstual yang mengacu kepada kemaslahatan dan menepis segala kemudaratan, dengan memperhatikan kaidah dar’ al-maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ sebagai acuan. Ia menyimpulkan bahwa di saat timbul kekhawatiran tidak adanya keadilan maka hukum poligami adalah haram.         
    Dalam pada itu muridnya, Muhammad Rasyid Ri«±, menjelaskan bahwa ayat 3 surat an-Nisa’ juga mengandung pesan agar berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok ini akan merusak tatanan hidup yang berujung pada kemurkaan Allah. Pemahaman ini terefleksi dari jalinan beberapa komponen dalam ayat, yakni ungkapan ayat “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya)” dijawab dengan “maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi” yang selanjutnya diperkuat dengan “Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”   
    Rasyid Ri«± menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan, sebab pada dasarnya perkawinan adalah antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Poligami hanya untuk kondisi darurat, seperti dalam situasi perang, selain itu juga disertai syarat yang ketat, tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Ketika poligami menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami.
    Rasyid Rida juga melihat poligami sebagai persoalan sosial yang penegasan status hukumnya tidaklah sederhana, akan tetapi perlu pertimbangan multidimensional. Berbagai pertimbangan tersebut mencakup persoalan watak dan potensi antara laki-laki dan perempuan, dan bagaimana hubungan keduanya dari sudut perkawinan dan tujuannya. Selain itu juga terkait dengan keseimbangan jumlah populasi jenis laki-laki dan perempuan, problem kehidupan rumah tangga dan tanggung jawab laki-laki atas perempuan atau sebaliknya; atau posisi kemandirian masing-masing. Perlu dikaji pula sudut sejarah perkembangan manusia khususnya keberadaan laki-laki dengan memiliki satu pasangan (istri). Hal terakhir yang juga perlu ditinjau adalah bagaimana konsepsi Alquran mengenai persoalan poligami, apakah poligami merupakan urusan agama dan sesuatu keharusan atau hanya sekedar rukh¡ah (dispensasi) yang dibolehkan dalam keadaan darurat disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.  
    Berpijak dari pertimbangan dan sudut pandang di atas Rasyid Rida menyimpulkan bahwa pada prinsipnya kebahagiaan dalam suatu perkawinan dan kehidupan rumah tangga hanya dapat dibangun oleh suami yang hanya memiliki seorang istri. Konsep inilah yang semestinya dibangun oleh semua orang dalam bahtera perkawinan mereka. Poligami sendiri sebetulnya bukanlah potret umum dari kehidupan manusia, ia hanya dipraktikkan dalam jumlah terbatas oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.    
    Meskipun demikian Rasyid Rida juga memaklumi bahwa poligami tetap punya sisi positif (maslahat), baik bagi individu maupun kolektif. Sebagai contoh kasus, pada  pasangan yang tidak dikaruniai anak, suami terpaksa berpoligami karena si istri tidak dapat memberikan keturunan akibat mandul atau faktor usia lanjut (menopause), atau istri mengalami sakit parah atau berbagai problem fisik lainnya yang tidak memungkinnya untuk melayani suami dengan baik, atau berbagai alasan lain yang jika tidak dapat dicarikan solusinya (poligami) berpotensi besar menjerumuskan suami kepada perbuatan zina. Sedangkan sisi positif dalam skala kolektif adalah manakala terjadi ketimpangan jumlah populasi antara perempuan dan laki-laki, seperti kondisi yang dialami oleh negeri-negeri yang terlibat dalam peperangan dan beberapa negara Eropa dimana kaum perempuan terpaksa bekerja keras menghidupi keluarga dan beraktivitas di bidang-bidang pekerjaan yang berat dengan tingkat resiko yang sangat tinggi mengancam keselamatan mereka. Ironis bahwa pembolehan poligami ini tak jarang  disalahgunakan sebagian kaum laki-laki (suami) hanya untuk melampiaskan keinginan biologisnya tanpa memperhatikan upaya realisasi kemaslahatan dalam poligami. Oleh karena itu, sejatinya rumah tangga ideal adalah monogami, Islam membolehkan poligami hanyalah sebagai rukhsah (keringanan), bukan anjuran apalagi kewajiban.  Selain itu, pembolehannya pun lebih cenderung dihubungkan pada situasi dan kondisi darurat yang bernuansa sosiologis. 
    Melengkapi penjelasannya di atas, Rasyid Rida sekali lagi menekankan bahwa poligami merupakan penyimpangan dari prinsip dan idealitas, ia dapat memupus ketenangan jiwa, cinta dan kasih sayang (sak³nah, mawaddah wa ra¥mah) yang merupakan pondasi dan pilar hidup berumah tangga. Tidak ada perbedaan antara perkawinan pasangan suami istri yang tidak membangun pondasi-pondasi luhur  tersebut dan pasangan yang berorientasi kepuasan biologis  semata. Oleh karena itu sepatutnya seorang Muslim menghindari poligami kecuali karena kondisi darurat yang disertai keyakinan mampu berlaku adil, lebih dari sekedar meraih sak³nah, mawaddah wa ra¥mah.       
    Pendapat dari sudut yang lain namun tetap senafas dengan dua tokoh di atas dikemukakan oleh Qasim Amin (1865-1908), ia membenarkan bahwa ayat 3 surat an-Nisa itu sepintas mengisyaratkan kebolehan poligami, namun sebenarnya sekaligus tersirat ancaman bagi pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak mampu berlaku adil. Jadi sebelum melakukannya, ia sudah diliputi perasaan takut (khawatir). Oleh karena itu kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-orang tertentu yang sangat yakin bahwa dirinya tidak akan terjerumus dalam prilaku tidak adil, dan yang tahu persis tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.
    Sementara Ahmad Mustafa al-Maragi (w. 1952) berpendapat bahwa kebolehan yang disebut pada surat an-Nis±’ :3 tersebut merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Poligami, katanya, hanya dapat dilakukan jika dalam kondisi sebagai berikut: pertama, istrinya terbukti mandul sementara pasangan  suami-istri ini sangat menginginkan keturunan; kedua, suami memiliki libido seks yang sangat tinggi, sementara istri tidak sanggup melayaninya; ketiga, suami memiliki kekayaan yang mampu menopang segala kebutuhan istri dan anak-anaknya; keempat, kuantitas wanita lebih banyak dibandingkan pria akibat peperangan, sehingga banyak anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Seperti halnya Abduh, dalam persoalan ini al-Maragi juga mengacu kepada kaidah fiqhiyyah dar’ al-Maf±sid muqaddam ‘ala jalb al-ma¡±li¥ di atas.  Mengenai pengertian adil pada ayat 129 surat an-Nis±’, menurut al-Maragi yang dimaksud di sini adalah yang sesuai dengan kemampuan manusia, seperti dalam  hal memberi fasilitas sandang, pangan, dan tempat tinggal, sedangkan dalam hal cinta (kecenderungan hati) maka hal itu di luar kemampuan manusia. 
    Berdasarkan pendekatan fikih dan perspektif tafsir (tradisionalis) di atas tampak jelas bahwa poligami adalah hal yang legal menurut doktrin hukum Islam konvensional, oleh karena itu pelarangan dan kriminalisasi terhadap poligami merupakan deviasi dari ketentuan doktrin “Syariah”. Namun apa yang dikemukakan oleh sejumlah mufasir modern di atas tersirat urgensi upaya formulasi hukum yang dapat mempersulit praktik poligami dan mencegah efek negatif dari penyalahgunaan poligami dalam masyarakat. Interpretasi seperti inilah yang kelihatan turut mengilhami sejumlah negeri Muslim untuk memberlakukan aturan ketat bahkan keras terhadap praktik poligami di dalam Undang-Undang mereka.

E. Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim Modern
Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di negara-negara Muslim modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan/perubahan modern. Demikian pula halnya dalam masalah poligami. Aturan fikih konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada upaya mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara umum ketentuan (perundang-undangan) berkaitan hukum keluarga di negara-negara Muslim modern, dikaitkan aturan poligami, dapat diklasifikasikan kepada kategori: pertama, negara-negara yang sama sekali melarang praktik poligami, seperti Turki dan Tunisia. Kedua, negara-negara yang yang membolehkan poligami dengan persyaratan yang relatif ketat (dipersulit), seperti Pakistan, Mesir, Maroko, Indonesia, dan Malaysia. Ketiga, negara-negara yang memperlakukan poligami secara lebih longgar, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Qatar. 
            Dari ketiga kategori tersebut, kategori kedua menjadi kecenderungan  umum Hukum Keluarga di Dunia Islam. Pembatasan poligami yang dilakukan  bersifat variatif, dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Sebagai contoh, di  Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan  kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917,  poligami tidak dilarang namun diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para istri. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Maroko berdasarkan UU Status Pribadi tahun 1958 yang berlaku di sana.
            Cara lain bagi pembatasan poligami adalah dengan pembuatan perjanjian. Istri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ternyata nanti ia menikah lagi dengan wanita lain maka si istri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak istri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal 19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan Hukum Keluarga Yordania No. 25 tahun 1977.  Hal yang sama juga disebutkan dalam pasal 31 UU Status Pribadi Maroko tahun 1958.
            Di samping itu, ada pula yang mempersyaratkan kondisi atau izin tertentu. Di Indonesia, contohnya, diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2)  UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri  lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983, poligami praktis dilarang.  Hal yang hampir sama berlaku di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya. 
            Seperti yang tampak pada contoh yang terakhir disebut ini, praktik poligami malah telah masuk kategori perbuatan yang dikenakan sanksi hukum tertentu. Dengan kata lain, sebagian negara-negara Muslim memberlakukan kriminalisasi praktik poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bahasan terdahulu, minimal tercatat 8 negara Muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
            Khusus mengenai tiga negara pertama secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut: 
    Di Iran, seorang suami yang ingin menikah lagi (berpoligami) maka wajib memenuhi dua hal: 1) Memberitahukan kepada calon istrinya bahwa ia sudah beristri. 2) Mendapat izin dari Pengadilan. Pelanggaran atas salah satu hal tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan Hukum Keluarga yang berlaku di Iran, poligami yang dilakukan dengan memalsukan keterangan atau tanpa pemberitahuan kepada calon istri tentang eksistensi perkawinan sebelumnya, dapat membuat pelakunya dijatuhi hukuman penjara 6 bulan – 2 tahun. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap pelaku poligami tanpa izin Pengadilan. 
Di Pakistan, seseorang hanya dapat dibolehkan berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari Lembaga Arbitrase (Majelis Hakam). Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang. Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman: a) wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggakan pajak tanah; b) atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.
Sedangkan di Yaman (Selatan), bigami (beristri dua) hanya diperbolehkan setelah adanya izin tertulis dari Pengadilan, yang dapat diperoleh dengan alasan: 1) istri mandul yang dinyatakan oleh dokter dan tidak diketahui sebelumnya; atau 2) istri menderita penyakit kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan, serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungan kehidupan rumah tangga.  Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit larangan atau sanksi hukum dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan poligami, akan tetapi Hukum Keluarga yang diberlakun Yaman (Selatan) menggariskan ketentuan bahwa semua pelaku/pihak yang terkait pelanggaran (pelaku & pendukung) melakukan perkawinan atau mendaftarkan perkawinan yang bertentangan dengan UU No. 1/ 1974 (salah satunya mengenai bigami tanpa izin Pengadilan setempat), dapat dijatuhi hukuman berupa denda maksimal 200 dinar; atau penjara maksimal 2 tahun; atau kedua sekaligus.  Dengan demikian berdasarkan Hukum Keluarga di Yaman (Selatan), poligami yang dilakukan tanpa izin dari Pengadilan setempat dipandang sebagai tindak kriminal yang dapat dijerat dengan sanksi hukum.
            Adapun mengenai kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di lima negara yang terakhir disebut, yang menjadi model kajian ini, akan diuraikan secara lebih rinci dalam bahasan berikut:    
1.    Turki
        Secara geografis, Republik Turki (Turkiye Cumhuriyeti) yang didirikan pada 29 Oktober 1923 ini terletak di kawasan Asia Kecil (97%) dan Eropa Tenggara. Di bagian barat berbatasan dengan Laut Aegean dan Yunani, dan di bagian Barat Laut berbatasan dengan wilayah Bulgaria. Di utara berbatasan dengan Laut Hitam. Di bagian Timur Laut berbatasan dengan Georgia, di bagian timur berbatasan dengan Armenia, dan di bagian tenggara berbatasan dengan Iran dan Irak. Sedangkan di selatan berbatasan dengan Syria dan Laut Tengah. Luas wilayah Turki meliputi 755.693 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan 23.763 km2 di Eropa Tenggara, sehingga luas keseluruhan Turki adalah 779.456 km2.
        Berdasarkan sensus 21 Oktober 1990, populasi penduduknya mencapai 56.473,035 jiwa yang menempati wilayah seluas 779, 456 km2. Mayoritas penduduk Turki adalah Muslim, sebagian besar beraliran Sunni, namun diperkirakan di sana juga terdapat sekitar 10 hingga 20 juta Muslim Syi’ah. Sedangkan sisanya adalah Yahudi, Ortodok Yunani, Ortodok Armenia, dan Kristen Assyria.         
        Sebagai sebuah negara pengganti yang tercipta dari reruntuhan Kesultanan Usmaniyah pasca Perang Dunia I, Turki menjadi negara sekular pertama di Dunia Muslim. Pembatalan syariat dan pengambilan sebuah sistem hukum sekular berdasarkan aturan–aturan hukum Barat, serta pendeklarasian sebuah republik sekular pada 1928, merupakan penyimpangan radikal dari tradisi.
        Sebelum lahirnya kebijakan legislasi undang-undang--yang dikodifikasi secara eklektikal, mazhab Hanafi merupakan mazhab utama yang mendasari kehidupan keberagamaan tradisional Turki hingga tahun 1926. Adalah Undang-Undang Sipil Islam yang dikenal dengan Majallat al-ahkam al-‘adliyyah, sebagian materinya didasarkan pada mazhab Hanafi yang telah dipersiapkan di Turki sejak tahun 1876, sekalipun belum memuat hukum keluarga dan hukum waris di dalamnya. Hukum mengenai perkawinan dan perceraian sebagian dibuat pada tahun 1915 dan dikodifikasi pada tahun 1917. Revolusi politik di negara tersebut menyebabkan kehancuran Dinasti Ottoman sekaligus menghapus kekhalifahannya. Baik UU Sipil Islam 1876,  berbagai hukum keluarga yang diberlakukan  pada tahun 1915 dan tahun 1917, maupun hukum waris mazhab Hanafi non-kodifikasi, semuanya diganti oleh UU Sipil baru yang komprehensif yang diberlakukan pada tahun 1926.          Berdasarkan the Turkish Civil Code 1926, poligami sama sekali dilarang dan jika terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah. UU Turki tersebut melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. Pasal 93 menegaskan bahwa seorang tidak dapat menikah, jika dia tidak dapat membuktikan bahwa perkawinan yang pertama bubar karena kematian, perceraian, atau pernyataan pembatalan. Kemudian dalam pasal 112 (1) dikemukakan bahwa perkawinan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.
         Ketentuan di atas juga dipertegas dalam the Turkish Family (Marriage and Divorce) Law of 1951. Dalam pasal 8 disebutkan:    
 “No person shall marry again unless he proves to the satisfaction of the Court that the former marriage has been declared invalid or void or has been dissolved by divorce  or the death of the other party.”     
        Selanjutnya dalam pasal 19 (a) dinyatakan:
“A marriage shal be declared invalid where:
(a)    at the date of the marriage one of parties is already married;”

        Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
 
        Dari ketentuan kriminalisasi praktik poligami di atas tampak jelas bahwa hukum positif yang berlaku di Turki telah mencitrakan deviasi yang signifikan  dari ketentuan mazhab Hanafi bahkan hukum Islam (konvensional) dari berbagai mazhab yang ada.  Ketidaksahan poligami merupakan hal baru yang belum pernah diwacanakan oleh kalangan ulama klasik.  Pembolehan poligami oleh Alquran dalam kondisi tertentu telah dirubah oleh Muslim Turki. Alasannya, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa tokoh intelektual Turki, bahwa legalisasi Alquran atas poligami merupakan “sebuah perbaikan besar terhadap praktik poligami tak terbatas pada masa Arab pra-Islam melalui cara monogami.” Perubahan kondisi sosial dan ekonomi di Turki telah membuat kondisi qur’ani poligami tidak dapat direalisasikan.  

2.    Tunisia
        Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,   bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.
        Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan  Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden  pertamanya.
        Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami.  Majallat  itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.      
        Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.
        Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:
1)    Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2)    Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3)    Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4)    Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5)    Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
        Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.     
        Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18  menyatakan:
a.    Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
b.    Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
c.    Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.

        UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain  dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3).  Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqah±’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya. 
        Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
        Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.       
        Selain itu, para reformis di Tunisia  menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan  kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil.  Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.”     
        Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak  negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia  menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan  pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3.  Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.        
        Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut, menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti  telah keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Antara tahun 1885 sampai tahun 1912, sekitar 3000 anak Tunisia dikirim untuk belajar ke Paris, meskipun pada saat yang sama orang-orang Perancis  melakukan kolonisasi di Tunisia. Pada tahun 1906 tercatat 34.000 orang Perancis tinggal di Tunisia dan angka itu melonjak menjadi 144.000 pada tahun 1945. Mereka memperkenalkan pertanian dan pendidikan modern kepada masyarakat Tunisia. Di pihak lain orang Tunisia juga belajar ke Paris, setelah kembali mereka melakukan pembaharuan pendidikan melalui Zaituna dan Sadi College yang kemudian melahirkan Khalduniyyah College—yang menjadi pusat gerakan”The Young Tunisians”. Jadi terobosan yang dilakukan Tunisia tampaknya tak lebih dari revolusi interpretasi “fikih baru” dari sebuah negara yang sedang gencar-gencarnya mengadakan pembaharuan di berbagai dimensi kehidupan masyarakatnya.
   
3.    Irak
        Irak merupakan negara yang menganut sistem hukum campuran yang diinspirasi dua aliran, fikih Sunni dan Syi‘i, sebagai landasan hukum yang diterapkan di Pengadilan Syariah.  Pada abad ke-17,  Iraq yang merupakan  tempat lahirnya mazhab Hanafi, masih berada di bawah kekuasaan dan hukum Imperium Ottoman. Mulai 1850 sejumlah hukum sipil, pidana, dagang, diadopsi oleh Imperium Ottoman berdasarkan model Eropa (terutama Perancis), namun Undang-Undang OLFR yang diberlakukan pada tahun 1917 tersebut tidak pernah dimplementasikan di Irak akibat hilangnya pengaruh imperium dan hadirnya kekuatan Inggris di sana. Pemerintahan Inggris sendiri tidak mengadopsinya dikarenakan tidak mencitrakan hukum dan adat setempat di samping dalam realitasnya Irak dipengaruhi oleh hukum Sunni dan Syi‘i  dalam proporsi yang berimbang.Pada tahun 1921, Raja Faisal mendirikan sebuah kerajaan monarki Irak dengan kemerdekaan penuh diraih  pada 1932.   Melalui sebuah kudeta militer pada tahun 1958 kerajaan monarki akhirnya digantikan dengan berdirinya republik Irak.
         Hukum yang berhubungan dengan poligami sebagaimana yang diberlakukan saat ini di Irak     terdapat dalam the Iraqi Law of Personal Status 1959 senada dengan Amendment Law 1963 yang memodifikasi pasal 13 dari Undang-Undang tersebut. Menurut pasal 4 dan 5, seorang pria yang ingin menikah lagi (bigami) harus meminta izin dari Pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin kepadanya berdasarkan tiga syarat: pertama, ia harus memiliki kemampuan finansial menafkahi lebih dari satu orang istri sekaligus; kedua, terdapat kepentingan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i) melalui perkawinan kedua; ketiga, tidak ada kekhawatiran terjadinya perlakuan tidak adil terhadap para istri.
        Setiap pria yang berpoligami namun tidak dapat memenuhi  persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 dinar; atau kedua-duanya (pasal 6).  ketentuan-ketentuan pasal 4 dan 5 dipandang tidak berlaku bagi mereka yang berpoligami dimana wanita yang dinikahinya tersebut adalah janda.  Sedangkan dalam pasal 7 ditegaskan bahwa bagi mereka yang menikah  (berpoligami) tanpa ada izin dari pengadilan akan dijatuhi hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun.        
        Jika diperhatikan dari ketentuan pasal di atas, dapat dikatakan pada prinsipnya ketentuan tersebut merupakan pengembangan lebih jauh dari pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i  yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda.         
4.    Malaysia
        Malaysia merupakan salah satu negara di AsiaTenggara dengan wilayah territorial berada di bagian Selatan semenanjung Melayu dan bagian Utara pulau Kalimantan. Negara federasi dengan ibu kota Kuala Lumpur ini meliputi 13 negara bagian: 11 negara bagian Semenanjung  Melayu dan 2 negara bagian Sarawak dan Sabah di Kalimantan, dengan populasi penduduk 21.169.000 jiwa (sensus 1996) terdiri dari 58 % etnis Melayu dimana hampir keseluruhannya adalah beragama Islam, 27 % etnis Cina, 8 % etnis India, dan sisanya etnis pribumi (suku asli).   
        Sebelum kehadiran penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat.  Namun selama masa pemerintahan kolonial Inggris, nafas Islam telah mewarnai berbagai kebijakan legislatif lokal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi negara, keberadaan dan prosesi lembaga peradilan Syariah untuk menerapkan hukum Islam dan regulasi adiministrasi institusi social-legal Islam diberlakukan di seluruh negeri tersebut, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, dan hukum waris. Kondisi ini terus berlanjut di saat Malaysia memperoleh kemerdekaannya.
        Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Di negeri yang bermazhab Syafi’i ini, hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang, Kelantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian, Sabah dan Sarawak, penduduk Muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk Muslim lebih sedikit dari Sarawak, memakai adiministrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedangkan Sarawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukuman negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.       
        Dalam konteks reformasi Hukum Keluarga khususnya di rantau Asia Tenggara—boleh jadi malah skup Dunia Muslim—sebetulnya Malaysia tercatat sebagai negara pertama melakukan langkah ini,  ditandai oleh lahirnya Mohammedan Marriage Ordinance, No. V Tahun 1880 di negara-negara Selat (Pulau Pinang, Malak, dan Singapura). Dilanjutkan wilayah negara-negara  Melayu Bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang) melalui Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885, kemudian bagi negara-negara Melayu tidak bersekutu atau negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah, dan Johor), yang dipelopori oleh Kelantan adalah The Divorce Regulation Tahun 1907.
        Namun demikian, jika dilihat dari era pasca berakhirnya kolonialisme dan imperialisme di seluruh Dunia, perundang-undangan Malaysia telah mengalami beberapa kali pembaharuan. Taher Mahmood mencatat bahwa pembaharuan pertama berlangsung pada tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Sedangkan pembaharuan kedua dilaksanakan pada tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini berlaku pada tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang.  Dalam perkembangan terakhir pembaharuan juga terjadi di Terengganu (1985), Pahang 1987 (No. 3), Selangor 1989 (No.2), Johor (1990), Sarawak (1991), Perlis, dan terakhir Sabah melalui UU No. 18 tahun 1992.
        Mengenai kriminalisasi poligami dalam hukum positif di Malaysia, antara lain tergambar dalam UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). Dalam pasal 123 disebutkan:

Any man who, during the subsistence of a marriage, contracts another marriage in any place without the prior permission in writing of the court commits an offence and shall be punished with a fine not exceeding one thousand ringgit or with imprisonment not exceeding six months or with both such fine and imprisonment.

        Pasal di atas menegaskan bahwa seorang pria yang masih terikat dalam suatu perkawinan hanya dapat berpoligami jika telah mendapat izin tertulis dari pengadilan, bagi mereka yang melanggar ketentuan ini akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus.
        Pemberian izin poligami oleh pengadilan amat terkait dengan hasil pertimbangan institusi tersebut terhadap keterangan yang diberikan pemohon dan para istri yang lebih dahulu dinikahinya. Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin poligami berkaitan dengan kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan «ar±r syar‘i (bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda) istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.        
    Secara umum Hukum Keluarga Malaysia tampaknya masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami terlihat diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan langkah perlindungan pada kaum wanita juga menjadi bagian inheren dari alasan dasar ditetapkankannya pasal-pasal tersebut.   
    5. Indonesia
        Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.  Meskipun hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah, secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara sewenang-wenang.  
    Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991.  Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.  Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.
        Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. 
        Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami  yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan Sunnah Rasul.
        Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah  sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.  Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.

F. Poligami dan Ketentuan Hukum di Negara-Negara Barat 
    Sebelum kedatangan Islam, poligami sudah dikenal di kalangan mayoritas bangsa-bangsa kuno. Ia dibolehkan dan telah dipraktikkan di Mesir, Persia, Cina, dan kalangan masyarakat Yahudi (ajaran hukum Nabi Musa). Dalam agama Kristen, meskipun Perjanjian Baru mengabsahkan monogami sebagai bentuk ideal perkawinan, tidak ada secara eksplisit melarang poligami selain terhadap uskup dan pembantu gereja. Para tokoh agama Kristen era awal tidak menemukan keperluan mengutuk poligami karena monogami adalah hal biasa di kalangan masyarakat sebagaimana diajarkan dalam agama Kristen. Bahkan, tak satupun lembaga gereja di abad awal yang menyalahkan poligami, jadi tidak ada halangan mempraktikkannya. Sebaliknya, banyak tokoh agama membicarakan poligami  dengan nuansa penuh toleransi. Sebagai contoh, Saint Augustine sama sekali tidak pernah menyalahkan poligami, begitu pula Martin Luther, menyetujui perkawinan bigami yang dilakukan Philip Hesse. Hingga abad ke-16, sejumlah tokoh reformis Jerman menerima sahnya perkawinan yang kedua kali, bahkan perkawinan ketiga. Pada tahun 1650, beberapa tokoh Kristen memutuskan seseorang boleh menikahi dua orang perempuan.  Lebih belakangan, ditemukan  doktrin sekte Brigham Young’s Mormon, yang mengabsahkan praktik poligami hingga tahun 1880-an, saat Konggres Amerika Serikat mensahkan sebuah resolusi larangan praktik poligami.  Poligami juga merupakan bagian dari kebiasaan di kalangan suku-suku Afrika dan Australia. Begitu pula dengan hukum perkawinan Hindu yang tidak membatasi jumlah istri yang boleh dimiliki oleh seorang laki-laki.
    Singkatnya, dalam masalah praktik poligami, orang-orang Kristen tidaklah sebanyak orang Yahudi ataupun Muslim. Namun, penting untuk ditekankan bahwa ajaran Kristen tidak pernah mengintrodusir monogami kepada dunia Barat,  juga tidak pernah mengukuhkan perlunya mereformasi masyarakat. Tampaknya monogami hanyalah bentuk legal dari perkawinan di masyarakat Barat dimana agama Kristenlah yang pertama kali diperkenalkan. Hal ini semakin diperkuat  oleh fakta bahwa tradisi kuatnya monogami formal merupakan hal yang lazim di Yunani dan Roma. Selain itu, kenyataannya ajaran Kristen telah mengakar di kalangan masyarakat kelas atas tempo dulu, yang bukan saja tidak berpoligami, namun lebih jauh mereka mendukung monogami.
    Gambaran historis di atas perlu dikemukakan untuk melihat rentang sejarah praktik poligami di masyarakat Dunia dan sejauhmana  titik hubungnya dengan perkembangan di Dunia Barat era modern. Tak dipungkiri bahwa negara-negara Barat, era modern, sama sekali menolak keberadaan poligami dalam kehidupan institusi keluarga mereka. Hal ini ditunjukkan dan dikukuhkan oleh produk hukum negara mereka yang secara umum menempatkan poligami sebagai sesuatu yang illegal atau malah dianggap sebagai perbuatan kriminal. Ketentuan yang sama berlaku bagi komunitas lain yang menetap di negara Barat yang diikat keharusan tunduk pada ketentuan UU di sana. Namun demikian seiring semakin meningkatnya jumlah komunitas Muslim dan keberadaan mereka yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Barat perlahan menjadi pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah negara Barat dalam merespon kepentingan seluruh elemen masyarakatnya. Bahasan ini akan mencoba menyoroti, dan membatasi hanya pada beberapa contoh negara Barat seperti Perancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
    Di Perancis, suatu perkawinan menurut tata cara Islami tidak memiliki kekuatan hukum apabila perkawinan tersebut mengambil tempat di wilayah Perancis. Poligami tidak hanya menjadi halangan untuk mendapat nasionalisasi Perancis namun pasal 147 Civil Code Perancis secara khusus menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi perkawinan kedua kecuali jika perkawinan pertama telah bubar. Sebagai akibatnya, meskipun pasangan suami istri tersebut berasal dari negeri yang mengizinkan poligami, tidak ada lembaga poligami dapat secara legal diakui di Perancis. Perkawinan kedua sama sekali dinyatakan batal. Atas dasar inilah pengadilan beberapa kali menolak kepentingan wanita muslim tinggal di Perancis dalam ikatan perkawinan poligami. Pada tahun 1992, misalnya, Cour d’Appel de Versailles  (Pengadilan Banding) menolak jaminan keamanan sosial bagi istri kedua  dari suaminya yang muslim dan pada tahun 1988 Cour d’Appel d’Aix-en-Provence juga menolak pemberian hak tunjangan cerai seorang wanita muslim dengan alasan bahwa dia istri kedua dan bahwa poligami dianggap bertentangan dengan tatanan (ketertiban) publik Perancis.
    Namun demikian, jika upacara secara Islami itu diadakan di negeri asal pasangan suami-istri tersebut, perkawinan itu dianggap memiliki kekuatan  hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Cour de Cassation berulang kali menegaskan bahwa poligami bukanlah pelanggaran pokok dari aturan publik Perancis menurut adat tradisi mereka, sekalipun lembaga  yang sama dinyatakan sama sekali tidak sah jika dilangsungkan di Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Apabila istri pertama telah menerima fasilitas keamanan sosial, maka istri kedua tidak dapat menuntutnya juga, sekalipun istri pertama tidak lama hidup di Perancis. Oleh karena itu, para suami muslim dipaksa untuk membayar nafkah anak meskipun anak tersebut berasal dari buah perkawinan secara agama bukan melalui upacara sipil.
    Hingga tahun 1980, reunifikasi keluarga poligami dilarang di Perancis: Pemerintah Perancis menolak kewarganegaraan penuh bagi para istri dan anak-anak dari para suami yang telah lebih dahulu menetap di Perancis dengan istri dan anak-anaknya yang lain. Dalam kasus Montcho pada tahun 1980, bagaimanapun juga, Conseil d’Etat  untuk pertama kalinya memberikan status kewarganegaraan penuh bagi istri kedua dari seorang laki-laki Aljazair, suatu pemberian signifikan bagi hak penyatuan kembali keluarga. Pengadilan beralasan bahwa, untuk tujuan terbatas fasilitas keamanan sosial, poligami adalah sesuatu yang berbeda, tetapi meskipun begitu format perkawinan sah. Yang jelas, pemerintah Perancis bereaksi melawan ekspansi poligami di wilayah Perancis. Menurut UU baru yang disahkan pada Agustus 1993, suatu perkawinan poligami tidak lagi memberi hak suami untuk membawa istri keduanya dan anak-anak mereka ke Perancis. Anak-anak hasil perkawinan poligami yang tinggal di luar negeri tanpa ayahnya hanya dapat menghubungi ayahnya yang berada di Perancis di saat ibu mereka yang berada di negeri asal telah meninggal dunia. UU 24 Agustus 1993 Pasal 30 selanjutnya menyatakan:
“Ketika  seorang warga asing yang berpoligami menetap di wilayah Perancis bersama istri pertamanya, kepentingan/hak penyatuan keluarga kembali tidak dapat diberikan kepada istrinya yang lain. Kecuali jika istri pertama tersebut meninggal dunia atau kehilangan hak sebagai orang tua, anak-anaknya tidak mendapat hak dari penyatuan kembali keluarga yang lain.”
   
    UU ini dikritik oleh banyak organisasi imigran karena dinilai memperlakukan wanita muslim secara tidak adil yang, berhadapan dengan kemustahilan secara legal hidup bersama suami mereka, sering masuk ke negara tersebut secara illegal dan kemudian ditempatkan pada posisi yang mudah diserang/kritik.     
     Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Sebagai contoh, penerapan hukum dalam kasus perceraian pasangan Syria yang perkawinannya dilangsungkan di Syria adalah didasarkan pada hukum keluarga Islam atau Syria, termasuk tuntutan tunjangan bagi mantan istri pasca perceraian. Hukum setempat hanya akan diterapkan dalam kasus tuntutan nafkah anak atau kewarganegaraan yang majemuk dari pihak tertentu.
    Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka, sebagaimana diatur oleh § 1306 BGB.  Oleh karena itu, tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak.  
    Adapun mengenai hak menyatukan keluarga kembali (reunifikasi), OVG Nordrhein-Westfalen menetapkan bahwa seorang wanita Muslim Yordania tidak berhak berkumpul dengan suami dan istri pertama di Jerman. Dalam kasus yang sama, beberapa pengadilan menetapkan bahwa para istri (poligami) tidak punya hak untuk berkumpul dengan suaminya di Jerman, sekalipun suatu ketika mereka berada (tinggal) di negeri itu dengan suami mereka, penuntutan tidak bisa diajukan karena poligami tidak dianggap sebagai perbuatan melawan tata aturan publik Jerman. 
    Berbeda dengan kedua negara di atas, Inggris cenderung memberlakukan kebijakan yang lebih tegas. Dari potret historis, dapat dikatakan sampai tahun 1604, tidak ada satu pun UU Inggris yang mendefinisikan dan menetapkan hukuman bagi bigami/poligami sebagai perbuatan kriminal. Hukum Inggris mengenai hal ini lebih terkebelakang dari hukum Skotlandia, yang lebih dahulu pada tahun 1551 menyatakan bigami sebagai sebuah perbuatan kriminal yang dapat dijatuhi hukuman ancaman sumpah palsu, penyitaan harta harta, kurungan, dan perlakuan buruk (siksaan). Melalui UU Inggris 1604, yang menjadi contoh hukum-hukum Inggris dan Amerika Serikat di kemudian hari,  ditegaskan bahwa siapa saja yang melangsungkan perkawinan dalam wilayah Inggris atau Wales, sementara suami atau istri pertamanya masing hidup, dinyatakan sebagai kesalahan/kejahatan pidana perkawinan.
    Sedangkan UU Inggris 1861, yang berlaku sekarang, hanya membebaskan perkawinan kedua dari hukuman jika salah satu pasangan (suami/istri) raib selama 7 tahun berturut-turut, dan pasangan yang menikah lagi tidak tahu bahwa suami atau istrinya ternyata masih hidup pada saat itu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini menurut UU dapat dijatuhi hukuman maksimal 7 tahun dan minimal 3 tahun atau kurungan tidak lebih dari 2 tahun. Bigami merupakan tindakan kriminal menurut UU, jika dilakukan oleh orang Inggris, maka kapanpun dapat diambil tindakan.
    Tidak jauh berbeda dengan sikap hukum Inggris, boleh jadi turut dipengaruhi oleh ikatan sejarah kedua negara, Amerika Serikat memberlakukan larangan poligami di wilayahnya, kecuali jika salah satu pasangan dinyatakan hilang (tidak diketahui rimbanya) selama 5 tahun, tidak diketahui apakah ia masih hidup dan diyakini ia telah meninggal dunia, atau terjadi perceraian, atau  penghapusan/pembatalan oleh pengadilan [menyangkut] perkawinan yang sebelumnya. Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada pelakunya adalah berupa denda maksimal 500 dolar dan penjara tidak kurang dari 5 tahun.
    Beberapa kitab UU dari sejumlah negara (bagian) Amerika Serikat berisi hukum–hukum yang dibuat atas, dan dengan peraturan-peraturan yang lebih kurang sama dengan, UU hukum Inggris 1604, dan mendefinisikan bigami, atau dalam per-UU-an beberapa negara bagian disebut poligami, sebagai suatu perbuatan kriminal. Tadinya oleh hukum Virginia dan hukum North Carolina, pelaku bigami dijatuhi hukuman mati. Sekarang hukuman poligami di Virginia adalah dipenjara  maksimal 8 tahun dan minimal 3 tahun. Sedangkan di North Carolina maksimal 10 tahun dan minimal 4 bulan. Di New York hukumannya maksimal 5 tahun, dan masa raib [yang] membebaskan perkawinan yang kedua ditetapkan lima tahun, istri atau suami terdahulu yang raib dari pasangan yang menikah lagi tanpa diketahui olehnya (suami/istri) pada waktu itu masih hidup dan yang diyakininya (suami/istri) telah mati. Perceraian (kecuali jika untuk menggagalkan satu pihak untuk kawin kembali) mendapat izin pengadilan, atau pembatalan perkawinan sebelumnya, atau hukuman penjara terhadap suami atau istri juga dapat membebaskan kawin lagi. Raib, karena itu, tidak membatalkan perkawinan sebelumnya, atas dasar bukti bahwa suami atau istri yang telah dinyatakan meninggal dunia ternyata masih hidup, perkawinan kedua dapat dihukumkan batal.  Tidak ada hukum atas sangsi bagi bigami yang mengakui dua perkawinan sah secara bersamaan/ dalam waktu yang sama. Menurut hukum New York, perkawinan yang terdahulu berhenti mengikat hingga salah satu dari 3 pihak pada dua perkawinan memperoleh suatu keputusan hukum yang menyatakan perkawinan kedua tidak berlaku lagi.

G. Analisa Komparatif
        Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa secara vertikal, langkah kriminalisasi poligami kelima negara Muslim di atas telah menunjukkan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Keberanjakan tersebut bersifat variatif, Turki, misalnya, lebih cenderung memakai metode extra-doctrinal reform semata yang akhirnya menghasilkan kesimpulan larangan mutlak terhadap poligami. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sebagian sarjana Turki bukan penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai hasil penafsiran baru terhadap pemahaman yang ada. Demikian pula Tunisia mengambil kebijakan yang hampir sama dengan Turki bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim. Dengan demikian dapat dikatakan pengaruh mazhab-mazhab, baik  mazhab mayoritas di kedua negara tersebut (Hanafi untuk Turki dan Maliki untuk Tunisia) atau mazhab-mazhab lainnya paling tidak dalam masalah poligami  telah digeser dan digantikan oleh penafsiran baru yang dititikberatkan pada pertimbangan rasional dan kontekstual.
        UU Irak pada prinsipnya ia merupakan pengembangan pemikiran mazhab-mazhab Sunni maupun Syi‘i yang dikombinasikan dengan hasil reinterpretasi ayat-ayat Alquran seputar poligami. Pengecualian poligami bagi para janda, contohnya, didasari pada tujuan poligami yang dimaksud Alquran, yakni memelihara dan menjamin anak yatim dan janda. Sedangkan Malaysia dan Indonesia masih berpegang pada konsepsi mazhab-mazhab Sunni, utamanya mazhab Syafi‘i, dalam hal kebolehan poligami. Ditetapkannya sejumlah alasan poligami diinspirasi oleh konsepsi fikih mengenai kewajiban suami atas istri dan alasan terjadinya fasakh. Sementara peran pengadilan dalam pemberian izin poligami dan kriminalisasi poligami merupakan bagian dari bentuk siyasah syariah yang bertujuan mengantisipasi dan memberi daya jera terhadap penyalahgunaan poligami. Di samping itu penafsiran baru terhadap pesan Alquran terkait masalah poligami dan semakin tingginya perhatian terhadap hak-hak kaum wanita juga menjiwai penetapan dan pemberlakuan aturan kriminalisasi poligami  tersebut. Dengan demikian Irak, Malaysia, dan Indonesia, dalam melakukan pembaharuan hukum keluarganya, khususnya dalam persoalan poligami, telah menggunakan metode intra-doctrinal dan extra-doctrinal  sekaligus.
        Secara horizontal, kecuali Turki, empat negara lainnya memiliki kesamaan dalam hal bentuk sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku poligami, yakni hukuman penjara dan atau denda. Tunisia, Irak, dan Malaysia malah menetapkan kemungkinan penjatuhan hukuman penjara dan denda sekaligus. Sementara Indonesia hanya memberlakukan hukuman denda kepada pelakunya; penjara atau denda bagi petugas pencatat perkawinan poligami tersebut. Meskipun Turki tidak secara eksplisit menyebutkan bentuk sanksinya, namun secara implisit UU Turki menegaskan bahwa perkawinan poligami adalah tidak sah dan akan dikenai ancaman hukuman (penalty).
        Turki dan Tunisia merupakan pengusung terdepan pelarangan dan penegasian keabsahan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia mengambil arah kebijakan poligami bersyarat, yakni tetap melegalkan poligami sepanjang telah mendapatkan izin dari pengadilan dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh UU. Mengenai hal yang terakhir ini, Malaysia dan Indonesia memiliki aturan yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memasukkan faktor kondisi/prilaku baik dari suami maupun istri sebagai dasar pertimbangan oleh pengadilan. Sedangkan Irak hanya mengaitkan persyaratan pada pihak suami dalam hal kemampuan finansial dan adanya kebutuhan yang sah secara hukum (kemaslahatan syar‘i), di samping dapat berlaku adil pada para istri. Irak punya ‘ciri khas’ lain dengan mengecualikan kasus poligami bagi janda, suatu hal yang tak diatur baik dalam Hukum keluarga Malaysia maupun Indonesia. Berbeda dengan Turki dan Tunisia, baik Irak, Malaysia, maupun Indonesia, meskipun memberlakukan sanksi hukum dalam poligami, namun tidak mengisyaratkan penolakan keabsahan poligami yang dilakukan. Pada bagian lain, Tunisia dan Indonesia memiliki kesamaan dalam hal penjatuhan sanksi yang dapat menjerat pihak diluar pelaku poligami, suatu ketentuan yang tidak ditemukan baik pada Turki, Irak, maupun Malaysia.
        Secara diagonal, Tunisia tampak telah beranjak paling jauh dan radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan mutlak disertai hukuman bagi pelanggarnya. Kemudian menyusul Turki dalam posisi selanjutnya, dengan menegasi keabsahan perkawinan poligami. Sedangkan Irak, Malaysia, dan Indonesia pada prinsipnya berada dalam garis keberanjakan yang hampir sama, yakni membolehkan praktik poligami dengan persyaratan tertentu dan menempatkan peran Pengadilan dalam posisi menentukan. Meskipun demikian, secara hirarkis Irak agaknya sedikit berada di bawah Malaysia karena sikapnya yang tampak lebih longgar dibanding Malaysia dimana UU-nya memberi pengizinan terhadap poligami terhadap janda.  Diikuti Indonesia, meskipun UU perkawinannya didasarkan pada asas monogami, namun hal tersebut tidak terefleksi pada kualitas dan kuantitas sanksinya yang dijatuhkan, sehingga Indonesia dapat dikatakan berada dalam posisi yang paling lunak. Dengan demikian, dari sudut komparasi diagonal dapat digambarkan tangga hirarkisnya adalah Tunisia, kemudian Turki,  Malaysia, Irak, dan terakhir Indonesia.
        Dari komparasi hukum di Dunia Barat diperoleh gambaran bahwa poligami mutlak dinyatakan sebagai suatu tindakan kriminal. Inggris dan Amerika Serikat tampak tidak memberi sedikit pun ruang bagi poligami, para pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara dan malah di Amerika disertai dengan denda. Dibanding kedua negara tersebut, Perancis dan Jerman relatif lebih moderat. Meskipun Perancis melarang dan menolak keabsahan poligami yang berakibat hilangnya hak fasilitas sosial yang diberikan negara bagi warganya, namun perkawinan yang diadakan di negeri asal pasangan suami-istri dianggap memiliki kekuatan hukum menurut hukum Perancis selama ia tidak menyalahi tatanan publik Perancis. Sebagai konsekuensinya berbagai hak jaminan kesehatan dapat diberikan kepada seorang wanita yang didaftarkan oleh suaminya sebagai orang yang tidak mandiri, tanpa melihat apakah perkawinannya dianggap sah secara hukum. Sedangkan di Jerman, dalam masalah hukum keluarga dan hukum waris, penerapan berbagai norma hukum ditetapkan berdasarkan hukum nasional yang (dipandang) lebih baik dibanding hukum tempat berdomisili. Monogami adalah salah satu prinsip konstitusi Jerman yang terkemuka sehingga tidak mungkin memasukkan perkawinan poligami secara legal di Jerman. Sama halnya dengan Perancis, hukum Jerman memperlakukan perkawinan poligami menjadi sah secara hukum selama perkawinan itu masuk pada suatu negeri yang mengizinkan poligami. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap perkawinan poligami memberi pengertian bahwa wanita muslim dapat memperoleh fasilitas jaminan keamanan sosial, begitu pula waris, hak asuh, dan biaya pemeliharaan anak. Di bagian lain, baik Perancis maupun  Jerman tetap melarang reunifikasi keluarga poligami. Dari perbandingan sejumlah aturan hukum dan keputusan Pengadilan di negara-negara Barat tersebut, jika dibuat suatu hirarki dari sudut yang paling tegas hingga relatif lunak adalah Inggris, Amerika Serikat, Perancis,  dan Jerman.
        Dalam perspektif titik hubung antara Hukum Keluarga di Dunia Islam modern dan hukum yang berlaku di Dunia Barat, khususnya yang terkait dengan poligami, antara keduanya terdapat kemiripan—jika tidak dapat dikatakan malah dipengaruhi. Sejumlah hal itu adalah asas monogami, sanksi penjara dan denda, pelarangan dan penetapan poligami sebagai suatu tindak kriminal, dan status perkawinan poligami yang dinyatakan invalid (tidak sah). Fenomena Hukum Keluarga di Turki dan Tunisia sedikit banyak merepresentasikan hal tersebut. 

H. Penutup
Masuknya komponen kriminalisasi dalam masalah poligami menjadi bagian inheren dalam reformasi Hukum Keluarga di negeri-negeri Muslim modern.  Ia menjadi bagian dari implementasi semangat dasar Hukum Keluarga negara-negara Muslim modern yakni melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat kaum perempuan. Pengaruh pemikiran yang digagas dan diprakarsai sejumlah tokoh cendikiawan Muslim modern dalam mereinterpretasi sumber ajaran/nas menjadi sisi lain bagaimana negara dapat memberlakukan suatu ketentuan keluar dari konsepsi khazanah klasik. Kolaborasi antara ijtihad yang mengusung prinsip maslahat dan siyasah syariah menjadi trend penting dalam pembangunan dan penerapan Hukum Islam di negeri  Muslim modern.
    Disadari bahwa kajian ini masih berada dalam lapisan apa yang digariskan dalam Undang-Undang di sejumlah negeri Muslim modern. Seberapa jauh UU tersebut berlaku efektif di lapangan dan bagaimana sesungguhnya yang terlaksana di masyarakat belum dapat terjawab oleh kajian ini. Memperhatikan kekurangan tersebut, studi tersendiri dan tajam otomatis menjadi hal yang patut untuk dipertimbangkan.






DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku:

‘Audah, ‘Abd al-Q±dir, at-Tasyr³‘ al-Jin±’³ al-Islam³ Muq±ranan bi al-Q±n­n al-Wa«‘³, Mu’assat ar-Ris±lah, Beirut, 1997.
A. Jawad, Haifaa, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach, St. Martin’s Press, Inc., New York, 1998.
Ab³ D±wud, Sunan Ab³ D±wud, juz I, D±r al-Fikr, 1994.
Amin, Qasim, Ta¥r³r al-Mar’ah, D±r al-Ma‘±rif, Tunisia, t.t.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
_______________ , “The Tunisian Law of Personal Status”, dalam International and Comparative Law Quarterly, 7 April 1985. 
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Buxbaum, David C. (Ed.), Family Law and Customary Law in Asia: a Contemporary Legal Perspective, Martinus Nijhoff, The Haque, 1968
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, jld. IV, Ichtiar Baru van Houve, Jakarta, 1997.
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, Oxford University Press, Oxford, 1991. 
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Ibn al-‘Arab³, A¥k±m al-Qur‘±n, Jld. I, D±r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, Beirut, 1988,
Ibn Rusyd, Bid±yat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqta¡id, juz II, D±r al-Fikr, Beirut, 1995.
al-Jaz³r³, ‘Abdurra¥man, Kit±b al-Fiqh ‘ala al-Ma©±hib al-Arba‘ah, jld. V, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
al-Ja¡¡±¡, A¥k±m al-Qur’±n, juz II, D±r al-Fir, Beirut, 1993.
Kartanegara, Satochid, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.  
Lindsey, Timothy (Ed.), Indonesia: Law and Society, The Federation Press, Leichhardt, 1999.
M. Hawes, Joseph & Elizabeth F. Shores (Ed.s), The Family in a America an Encyclopedia, vol. II, ABC-CLIO, Inc., Santa Barbara California, 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, N.M.Tripathi PVT, Ltd., Bombay, 1972.
______________ , Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion New Delhi, New Delhi, 1987.
Mallat, Chibli, & Jane Connors, Islamic Family Law, Graham & Trotman, London, 1993.
al-Maragi, A¥mad Mu¡taf±, Tafs³r al-Mar±g³, juz IV, Mustaf± al-B±b³ al-¦alab³ wa Aul±duh, 1974.
Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Mudzhar, M. Atho’ dan Khairuddin Nasution (Ed.s), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Leiden-Jakarta, 2002.
al-Qur¯­b³, al-J±mi‘ li A¥k±m al-Qur’±n, juz V, t.p., Kairo, t.t.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, Edisi Indonesia: Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1996.
Ri«±, Mu¥ammad Rasy³d, Tafs³r al-Man±r, juz IV, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999.
Shahrur, Muhammad, Na¥w U¡­l Jad³dah li al-Fiqh al-Islam³, Edisi Indonesia: Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. II, Lentera Hati, Jakarta, 2000.
Simon, Reeva S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), Encyclopedia of the Modern Middle East, vol.4, Simon & Schuster Macmillan, New York, 1996. 
S. Cayne, Bernard (Ed.), The Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New York, 1996 & 2001.
a¯-°ab±r³, Mu¥ammad Ibn Jar³r, J±mi‘ al-Bay±n ‘an Ta’w³l ²yi al-Qur’±n, juz III, D±r al-Fikr, Beirut, 1988.
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
al-W±¥id³, al-W±lib³, Asb±b an-Nuz­l, D±r al-¦arm li at-Tur±£, Kairo, 1996. 
Yeshua, Ilan (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.
az-Zajj±j, Ma‘±n³ al-Qur’±n wa I’r±buhu, juz II, ²lam al-Kutub, Beirut, 1988.
az-Zamakhsyar³, al-Kasysy±f ‘an Haq±iq Gaw±mi« at-tanz³l wa ‘Aun al-Aq±w³l f³ Wuj­h at-Ta’w³l (Tafsir al-Kasysy±f),  juz I, D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1995. 
az-Zuhail³, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz VII, D±r al-Fikr, Damaskus, 1997.



Data internet:

Iraq, Republic of
http://www.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm

Charles W. Sloane, “Bigamy (in Civil Jurisprudence)”, dalam Catholic Encyclopedia. http://www.newadvent.org/cathen/12564a.htm

Pascale Fournier, “The Reception of Muslim Family Law in Western Liberal States” dalam Canadian Council of Muslim Women, Sharia/Muslim Law Project, 30/09/2004. 
pfournie@law.harvard.edu http://www.ccmw.com/Position%20Papers/Pascale%20Paper.doc.